Latest Updates

Lelaki - Lelaki Purnama

Penulis: Futri Zakiyah Darojat

“Hanya laki-laki purnama, yang datang malam-malam untuk memastikan kamu tidak kesepian. Hanya laki-laki purnama, yang cukup dengan cintanya kamu akan bahagia.”

Cinta bukan perkara dia memiliki apa, tapi pastikan kau memberi semua yang kau punya. Sama halnya dengan jika kau ingin kaya. Berpura-pura lah berharta, bersedeqah lah yang banyak, maka kau akan benar-benar merasa kaya. Kalimat itulah yang digaung-gaungkan Ayah, diulang-ulang seperti relawan gerakan pelestarian hutan dengan green and cleannya.
Hingga kini, aku belum menemukan guru yang lebih baik dari Ayah. Meskipun saat itu kami miskin, pantang bagi Ayah jika kami (putra-putrinya) tidak merasa bahagia. Karena itu, sedapat mungkin dengan cara apa pun, Ayah selalu memenuhi keinginan kami.
Kau ingin membelinya? Ambilah.” Kata Ayah suatu sore di toko buku favorit kami. Aku tak berniat meminta dibelikan, aku hanya tertarik melihat sampul buku puisi berjudul “Hujan Bulan Juni” itu. Begitulah Ayah, selalu memberi sesuatu yang bahkan belum sempat kami minta. Namun ternyata, terlambat kusadari ketika pulang, Ayah tak jadi membeli apa pun. Padahal aku tahu, Ayah ingin membeli buku Siroh Nabi yang beliau idamkan lama-lama.
Hingga datanglah suatu sore yang gerimis, saat usiaku bukan kanak-kanak lagi, saat perekonomian keluarga kami membaik, bahkan karena kerja keras Ayah, garasi yang dahulu kosong kemudian berhias dua mobil. Saat aku tak pernah lagi meminta sesuatu dengan merengek, karena kami berkecukupan. Datanglah seorang laki-laki ke rumah kami. Awalnya, aku tak begitu kaget. Meskipun usianya tak muda lagi, banyak rekan bisnis Ayah yang seusia denganku. Yang menyentakku, sepulang lelaki itu dari rumah, Ayah berkata dengan nada khasnya yang tegas nan lembut,
Ayah ingin kau menikah dengannya.”
Kalian tahu, mendengar kata-kata Ayah itu seperti menelan bulat-bulat apel batu seukuran kepalan tangan, mencekik. Aku benar-benar tersudut kata-kata Ayah. Pasalnya, Mas Haris, laki-laki tamu sore itu bukan gambaran laki-laki yang kubayangkan untuk menjadi suamiku. Mas Haris datang ke rumah menggunakan bemo (kendaraan umum sejenis angkot). Hanya kacamatanya yang menghasilkan nilai plus di mataku,terlihat bijaksana.
Aku diam, berdiam beberapa hari dan tepatnya bingung untuk menanggapi permintaan Ayah. Mengapa, mengapa yah? mengapa satu hal yang kau minta harus ini.
Ayah tidak menyuruhmu menikah dengannya. Ayah hanya bilang, Ayah ingin kau menikah dengannya.
Saat itu, kutahan benar-benar air mataku agar tak rompal berjatuhan. Ya Tuhan, mengapa aku harus bimbang atas permintaan seorang laki-laki yang belum pernah berkata tidak padaku. Otakku berpikir keras, keras sekali. Banyak bayangan berkelebat, tentang mimpi masa muda, tentang calon suami dengan mobil mentereng, tentang bulan madu ke luar negeri. Kemudian, aku berlari ke arah Ayah dan memeluknya erat-erat.
Aku akan menikah dengannya,Yah.” Kataku sambil terisak di pelukan Ayah.
Ayah tak memaksa atau bahkan sekedar memintamu menikah dengannya, tidak. Tapi jika kau ingin melihat Ayah bahagia dengan melihatmu menikah dengannya, berjanjilah kau akan berusaha mencintainya seperti caramu mencintai Ayah.” Jawab Ayah sembari mengusap kepalaku.
***
Detik behimpun menjadi menit, menit berdentang menjadi jam, terakumulasi dalam hari-hari, lalu menjelma lah aku menjadi istri seorang petani. Iya, aku akhirnya benar-benar menikah dengan Mas Haris. Itu berarti juga, kemiskinan masa kecil kami terulang lagi. Hari-hariku tidak jauh dari sawah,padi,matahari dan keringat. Awalnya, ini terasa begitu sulit karena mungkin aku sudah lupa cara hidup susah. Tapi aku sudah berjanji pada Ayah untuk mencintai suamiku dengan baik.
Aku tahu, wajah Mas Haris tersirat ketidak tegaan ketika melihatku berpanas – panas memetik buah jagung, ada rasa bersalah setiap melihatku mengusap peluh. Karena itu, aku sedapatnya berusaha tersenyum ketika menangkapnya memandangiku. “Aku tidak apa-apa.” Kataku menjawab tatapannya.
Begitulah, hari-hari kulalui dengan berepot-repot memaksa diriku untuk tidak menangis, tidak mengeluh di depan Mas Haris. Kalian tahu, itu bahkan lebih sulit dari berjalan di atas tanah sawah yang berlumpur. Hingga hitungan bulan pernikahan kami, aku belum bisa mengajak diriku mencintai suamiku sepenuhnya. Aku masih melakukan semua hal demi Ayah.

Maaf, semua ini mgkn terlalu keras utkmu." Kata Mas Haris suatu malam. "Tapi aku tak menyangka, kau setangguh ini." Lanjutnya. Lantas tersenyum. 
Entah kenapa, selanjutnya pegal di kaki dan tanganku tiba-tiba meluruh. Gundukan-gundukan beban di tengkuk setelah seharian menjemur jagung, terangkut sudah mendengar kata-kata pujiannya. Aku hanya tersenyum menjawabnya.
"Aku ingin tahu, apakah  kau mencintaiku?" Tanya Mas Haris selanjutnya. Aku hanya diam, menatap wajah suamiku dari keremangan lampu teras rumah kecil kami. Lalu kuputuskan untuk mengangguk. Dia, suamiku tersenyum. Aku tiba-tiba terseret untuk tersenyum juga. Entah mengapa, malam itu. Aku memiliki alasan untuk menatap senyumnya lama-lama.

Aku pikir, suatu saat aku akan bosan dengan segala aktivitas itu. Bagaimana tidak, aku hanya punya sedikit waktu untuk beristirahat atau membaca buku. Menghabiskan seharian di sawah menemani suamiku. Tapi nyatanya tidak. Aku heran, aku menikmatinya. Menikmati ketika ia menggodaku dengan tiba-tiba menghilang di tengah belantara pohon jagung yang rimbun, lalu terpingkal-pingkal ketika melihatku panik. Atau mencipratkan air pematang di mukaku, atau saling melempar tanah berlumpur. Aku menikmati semua itu, menikmati saat merasa tersipu ketika mendengar ia memanggilku pertama kali dengan kata “Dinda.”. Menikmati melihatnya makan dengan lahapnya nasi jagung dengan sayur pepaya buatanku. Aku seperti menemukan cara untuk selalu bahagia tanpa banyak alasan.
Apakah kau mencintaiku?” Tanyanya suatu hari sembari membersihkan kaki dengan air pematang.
Kau sudah pernah menanyakannya.” Jawabku singkat.
"Aku ingin tahu setelah kau merasakan, bahwa hidup dengan petani sepertiku tidak mudah," 
"Seharusnya, Mas Haris tidak perlu menanyakan ini. Karena aku sulit menjelasknnya. Bila dulu alasanku satu-satunya menikah denganmu adalah demi membuat Ayah bahagia. Sekarang alasanku satu-satunya tetap berada di sisimu adalah membuat diriku bahagia,Aku tidak tahu perasaan apa ini, hanya saja aku tidak yakin apabila tidak denganmu aku akan tetap bahagia.”  
Aku pikir Mas Haris akan tersenyum. Tapi kali ini dia hanya tertunduk, menempelkan dagu ke dadanya. Kemudian kusadari, butiran-butiran bening menggantung di dagunya, suamiku menangis. Ini pertama kali aku melihatnya menangis selain ketika shalat,
 "Aku menyinggungmu.?" Tanyaku kemudian. Mas Haris menggeleng. "Lalu?"
"Ini caraku bersyukur, untuk memiliki seseorang sepertimu. Terima kasih sudah bertahan Mas berjanji akan bekerja keras agar kau tak perlu menderita." Kemudian tenggelamlah aku dipelukannya.  
Jadilah senja itu, di pematang tepian sawah aku menemukan sebuah perasaan yang muncul dari dalam dada tentang benar-benar rasa takut kehilangan seseorang, tentang ketakutanku untuk melihat seseorang yang ku sayang bersedih. Ada janji pada diriku sendiri untuk  membuatnya bahagia seperti caraku membuat Ayah bahagia. Mereka Ayah, dan suamiku. laki-laki purnama yang mengajarkan banyak hal tentang hidup. Merekalah yang menyimpan pahit getir sisi gelap mereka lalu mencahayai agar melihatku tersenyum. Satu pelajaran besar yang mereka ajarkanku adalah bagaimana berbahagia dengan cara-cara sederhana.

Surabaya, 28 November 2013

0 Response to "Lelaki - Lelaki Purnama"

:) :( ;) :D ;;-) :-/ :x :P :-* =(( :-O X( :7 B-) :-S #:-S 7:) :(( :)) :| /:) =)) O:-) :-B =; :-c :)] ~X( :-h :-t 8-7 I-) 8-| L-) :-a :-$ [-( :O) 8-} 2:-P (:| =P~ #-o =D7 :-SS @-) :^o :-w 7:P 2):) X_X :!! \m/ :-q :-bd ^#(^ :ar!

Post a Comment