Latest Updates
Showing posts with label Uncategorized. Show all posts
Showing posts with label Uncategorized. Show all posts

Kisah Kasih Tak Sampai yang Membawa Sang Pecinta ke Surga

Kisah Kasih Tak Sampai yang Membawa Sang Pecinta ke Surga
Sobat Nida, hari ini kita begitu akrab dengan kisah kasih tak sampai yang berujung tragedi. Misalnya saja kisah Romeo dan Juliet yang keduanya mati bunuh diri atau cerita Qais dan Layla (Layla Majnun) yang akhir ceritanya pun tak lebih baik dari kisah pertama. Dan beragam novel serta film yang mengambil pola serupa. Kisah cinta yang tak direstui lalu memilih kematian menjadi penutupnya.

Ah, bukanlah cinta sejati jika perasaan membuncah dalam hati malah membuat kita mengakhiri hidup ini. Tidaklah cinta sejati jika kisah kasih kita malah melupakan Zat yang paling berhak dicintai.
Kita kudu hati-hati, Sob, seseorang yang cintanya malah membuatnya jatuh dalam kehinaan dia bahkan akan lupa pada hari kiamat, lupa pada Rabbnya dan AzabNya.
Mari kita belajar pada kisah kasih tak sampai dari pemuda tampan dan gadis jelita di kota Kufah. Ketika cinta yang membara itu tak membuat mereka lupa pada Rabbnya. Ketika kasih sayang keduanya yang tak bertemu di dunia itu, boleh jadi berkumpul di surgaNya, karena ketakutan mereka pada Sang Khalik dan ketaatan mereka untuk menjaga kesucian diri.
Al-Mubarid menuturkan dari Abu Kamil, dari Ishaq bin Ibrahim, dari Raja' bin Amru An-Nakha'y, dia berkata, "Di kota Kufah ada seorang pemuda yang tampan sekali wajahnya, rajin beribadah dan berijtihad. Suatu hari dia singgah di suatu kaum dari An-Nakha'. Di sana pandangannya berpapasan dengan seorang gadis yang cantik jelita dari kaum itu, sehingga dia langsung jatuh cinta kepadanya dan dia berpikir untuk memilikinya. Dia pun singgah di tempat yang lebih dekat dengan rumah gadis itu, lalu mengirim utusan untuk menyampaikan lamaran kepada bapak sang gadis. Namun dia dikabari bapaknya, bahwa gadis itu sudah dilamar anak pamannya sendiri. Tatkala keduanya semakin didera derita cinta, maka sang gadis mengirim utusan kepada pemuda untuk mengatakan, "Saya sudah mendengar tentang besarnya cintamu kepadaku. Aku pun sedih karenanya. Jika engkau mau, maka aku bisa menemuimu, atau jika engkau mau, maka saya bisa mengatur agar engkau bisa masuk ke dalam rumahku."
Sang pemuda berkata kepada utusan itu, "Dan tidakkah ada pilihan di antara dua hal yang dicintai ini, "Sesungguhnya aku takut adzab hari yang besar (Hari Kiamat), jika aku mendurhakai Rabbku?' Sesungguhnya aku takut api neraka yang baranya tidak pernah padam dan tidak surut jilatannya."
Tatkala utusan menyampaikan perkataan pemuda, maka sang gadis bertanya-tanya, "Apakah dalam keadaan seperti ini dia masih merasa takut kepada Allah? Demi Allah, tak seorangpun yang lebih berhak atas demikian itu kecuali satu orang saja, sekalipun manusia bisa bersekutu dalam masalah ini." Setelah itu gadis tersebut memisahkan diri dari segala urusan dunia, tidak mau peduli terhadap urusan harta, suami dan anak. Semua ditinggalkan dan hanya beribadah semata. Tapi sekalipun begitu dia tidak mampu memadamkan cinta kerinduannya kepada pemuda tersebut, hingga dia meninggal dunia dalam keadaan seperti itu. Sang pemuda menziarahi kuburannya, menangis di sana dan berdoa baginya. Suatu hari dia tak kuasa menahan kantuk tatkala sedang berada di atas kuburnya, sehingga dia tertidur pulas. Lalu dia bermimpi melihat gadis yang dicintainya dalam rupa yang sangat menawan. Dia bertanya, "Bagaimana keadaanmu? Apa yang kau temukan setelah berpisah denganku?"
Gadis itu menjawab, "Cinta yang manis wahai orang yang kubutuhkan. Cintamu adalah cinta yang menuntun kepada kebaikan dan kesantunan."
"Sampai kapan engkau dalam keadaan seperti itu?" tanya sang pemuda.
"Hingga mencapai kenikmatan dan kehidupan yang tiada sirna di taman surga yang abadi, suatu kekayaan yang tiada lenyap."
Sang pemuda berkata, "Sebutlah namaku di sana, karena aku tak dapat melupakan dirimu."
"Demi Allah, aku pun begitu pula, tidak dapat melupakanmu. Aku telah memohon kepada Pelindungku dan Pelindungmu agar menyatukan kita berdua. Maka tolonglah aku untuk menggapai tujuan ini dengan sekuat tenaga."
"Kapan aku bisa melihatmu lagi?" tanya sang pemuda.
"Tak lama engkau akan bertemu aku dan melihatku," jawab sang gadis.
Setelah bermimpi seperti itu, pemuda tersebut hanya hidup selama tujuh hari.
Sumber: Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
Foto ilustrasi: google

Pemilik Sebuah Suara

Pemilik Sebuah Suara
Penulis: Miss Enje
Selalu begitu. Perasaan cinta datang tanpa pernah ada yang mengundang. Dia mampir tanpa pernah kita sangka maupun fikir. Dia suci, tapi kadang menjadi tak tersucikan oleh sebab waktu ataupun tempat. Ah, tidak, lagi-lagi selalu ada yang dikambing-hitamkan atas ketidaksucian cinta. Memang dasar hati ini saja yang terlalu mudah larut oleh bisikan-bisikan si pembangkang Tuhan.
Sebagai seorang muslimah yang masih single, aku mengaktualisasikan diri dengan banyak menghabiskan waktu di kantor ketimbang di rumah. Weekend, terlalu sia-sia untuk kuhabiskan dengan berdiam diri, tidur, nonton drama berseri-seri seorang diri di rumah. Lagian, makin lama di rumah, makin panas cuping ini mendengar pertanyaan yang selalu berulang bagi muslimah seperempat abad. Lagi-lagi, hang out dengan teman kantor menjadi pilihan. Jadi, bisa kalian bayangkan berapa puluh jam kuhabiskan dengan mereka? (12x5)+(8x2)=76 jam!
Ini bukan masalah, seandainya teman kantorku semuanya adalah berjenis kelamin sama denganku. Masalahnya, seperti lazimnya kantor-kantor di ibukota, tiap divisi sudah pasti terdiri dari kaum Adam dan Hawa. Walaupun di awal-awal masuk kantor aku berusaha menjaga pergaulan dengan lawan jenis, ya mau gimana lagi, bisikan-bisikan yang melenakan itu makin menguat tanpa kusertai dengan keimanan yang meningkat—sudah jelas bukan salah waktu dan tempat, kan?
Namanya Andi. Dia lima tahun lebih tua dariku. Posisi dan prestasinya di kantor sebetulnya biasa-biasa saja. Hanya saja menurutku dia memiliki suara paling indah tiap mengumandangkan adzan. Jujur, suaranya mampu menggerakkanku untuk bergegas sholat bahkan 15 menit sebelum waktu istirahat!
Hingga satu ketika di masjid kantor yang terletak di kawasan Thamrin, kusadari ada yang berbeda dari adzan Zuhur kali itu. Bukan suara yang biasa kutunggu-tunggu kumandangnya. Bukan suara bariton namun tak monoton. Bukan suara dengan cangkokannya yang khas. Sungguh, itulah sholat Zuhur terburukku sepanjang hayat sebab dipenuhi tanda tanya akan sebuah suara milik Andi. Aku mencari-carinya. Bahkan, aku merindukannya dengan sangat ketika sampai hari ketiga masih jua tak terdengar si empunya suara.
Hei! Gelisah amat, Neng? Nungguin si tukang adzan, ya?” Tina, rekan satu ruanganku menghancurkan imaji yang kubangun atas segala macam kemungkinan ke mana pemilik suara indah itu?
Eh… diajak ngomong malah bengong! Kesurupan, lho! Orangnya lagi cuti, kudengar anaknya masuk rumah sakit. Maklum… duda! Yuk, ah, makan. Laper, nih!” Oke, nice info. Tapi… damn! Semua yang ada di otakku terasa diburai ke permukaan oleh seorang Tina. Sepolos itukah tampangku hingga ia mampu membaca semua-muanya?
Kuturuti ajakannya. Bukan, tentu saja bukan karena lapar. Mungkin tepatnya karena aku butuh info semua tentang Andi. Begitu seterusnya, insting orang yang sedang kasmaran terus bekerja dalam diriku. Dia duda beranak dua. Istrinya menghilang pergi entah ke mana. Dia yang mengurusi kedua anaknya secara penuh setelah kepergian sang istri. Ah, semakin kutahu kehidupannya, sosoknya makin bersinar saja di tiap sudut pandangku.
***
Ya, kuakui aku sangat amatir dalam hal percintaan. Pertama kali aku jatuh cinta kalau tak salah tingkat dua SMA. Itupun aku hanya mampu mengagumi, seorang senior yang telah mencuri prestasi, hati dan kehidupanku. Setelah dia lulus, kututup semua cerita tentangnya yang bahkan mungkin tak pernah mengetahui keberadaanku sebagai junior. Dengan susah payah kufokuskan seluruh waktuku untuk memperbaiki hampir semua nilai yang sempat terjun bebas demi mengetahui seluruh kehidupan sang pujaan hati.
Di kali kedua ini, aku masih menganggap pengalaman cinta yang sama akan terulang lagi: bertepuk sebelah tangan, andai saja—lagi-lagi—Tina tak memberitahu kalimat besar yang seharian mampu membuatku tak terjaga tanpa kafein maupun minuman berenergi. “Dia ingin bertandang ke rumahmu akhir pekan ini,” ujar Tina serius.

Kaget bukan main, pasti. Bisa-bisanya  Tina membercandai inti paling inti apa yang belakangan mengusik hati ini. Awalnya aku mengabaikan ucapannya, tapi dia selalu serius, bahkan makin mendekati hari H ucapannya disertai dengan apa yang tidak pernah kusangka-sangka.
Kamu pikir, dia nggak sadar akan tingkah anehmu bergegas ke masjid sebelum waktunya?  Bahkan kamu mengintip-ngintip di sela-sela tirai saat dia adzan pun, dia tau!”
Dusta!
Kamu pikir, dia nggak pernah ngerasa akan tingkah anehmu kala kalian berpapasan? Kamu memutar arah saat kalian hendak berpapasan pun, dia tau!”
Pembual!
Kamu pikir, aku nggak pernah memergokimu curi-curi pandang saat dia presentasi? Aku tauuu semuanya, Neng Sarah. Makanya aku rancang ini semua untuk kamu. Tenang, aku nggak membongkar perasaanmu walau satu centi ke Andi. Katanya sih, dia memang sudah ada rasa sama kamu sejak pertama kali kamu masuk kantor kita. Sooo… disiapin ya, Neng!”
What??? Jadi…?
Sungguh aku kehilangan cara bagaimana berkata-kata. Selain tak sanggup tidur, tiga hari setelahnya aku tak kuasa untuk masuk kantor. Mau ditaruh di mana mukaku nanti, baik di hadapan Andi maupun Tina? Aku benar-benar malu, bahkan untuk sekadar membalas sms tanya kabar dari Tina dan manajer SDM.
***
Benar saja. Di waktu yang digadang-gadang oleh Tina hingga pagi tadi via sms, dia datang dengan ditemani seorang laki-laki yang tak kukenal! Satu sisi hatiku menyuruhku untuk tidak keluar menemuinya. Tapi sisi yang lain terlampau bergembira dengan kehadirannya. Kumantapkan untuk turun dengan ditemani Mama. Santun. Santun sekali cara dia membuka pembicaraan kami. Begitu juga dengan Mama, orang tua mana yang tidak bahagia ketika akhirnya anak perempuan yang hanya semata wayang disambangi oleh seorang lelaki, to the point ingin melamarnya?
Bukan kepalang senangnya mama. Tak lupa lebayan khas ibu-ibu, dipuja-puji diriku, betapa bangga dia memiliki anak sepertiku. Prestasiku, tingkah lakuku, semua diumbar oleh Mama. Hingga gantian Andi membeberkan segala hal tentangnya. Tepat di bagian status Andi yang duda beranak dua, seketika itu pula warna muka Mama berubah. Jangankan mengoceh, menatap Andi pun mama tak sudi. Entah apa yang ada di benaknya, yang kuingat pertemuan kami ditutup dengan sangat tidak enak. Malah Mama sengaja tak mau menemui Adit saat dia undur diri untuk pulang.
Betul saja. Malamnya, Mama membahas pertemuan siang tadi di hadapan papa. Ia bersikukuh tak akan pernah menyetujui hubunganku dengan Andi karena status duda yang disandangnya. Katanya aku masih bisa mendapatkan yang lebih baik dari Andi, yang masih perjaka tentu. Katanya lagi, nanti kehidupan rumah tanggaku dan Andi akan mengalami kesulitan karena harus berbagi kehidupan dengan dua anaknya. Katanya juga, dia yang akan mencarikan jodoh untukku kalau memang aku tak sanggup mencari pengganti setelah Andi. Allahumma…
***
Satu bulan berselang, dua kali sudah Andi bertandang kembali ke rumahku. Bukan hanya menemui Mama, tapi juga Papa. Ah, tapi Papa bisa apa? Mama terlalu dominan sejak dulu. Kemauannya tidak ada yang bisa mengingkari. Apa yang dia mau harus menjadi kenyataan.
Di kedatangan Andi yang terakhir, sengaja aku hanya berdiam diri di kamar. Walau tak di sana, tapi aku mampu mendengar semua-muanya. Dia pulang masih dengan sikap yang ditunjukkan saat pertama kali datang. Santun meski disambut dengan penolakan oleh Mama Papa. Salam terakhirnya, suara motornya, terekam jelas seiring air mata yang meruah.
Sebagai anak yang selalu mencoba berbakti kepada orangtua, aku bisa apa? Berat hati kuterima takdir ini. Keputusanku sudah bulat. Tak akan kuinjakkan lagi kakiku di kantor itu. Biarlah, biarlah waktu dan tempat yang akan menghapuskan semua bata harapan yang hampir terbangun sempurna bagi seorang wanita: pelaminan.
Selesai.

Inilah Perbedaan Cinta dan Nafsu

Inilah Perbedaan Cinta dan Nafsu
Sobat , suka bingung gak sih bagaimana cara membedakan cinta dan nafsu? Terkadang apa yang kita rasakan di dalam hati, kita anggap hal itu adalah cinta, padahal ternyata itu adalah nafsu yang selalu diselipkan oleh setan melalui bisikan bisikannya yang dapat menembus telinga hingga merasuk sampai ke hati.
Kualitas keimanan dan kedekatan kita kepada Allah lah yang mampu membentengi diri dari gelayut nafsu. Sebagai manusia yang kondisi iman dan ibadahnya sedang melemah lebih rentan untuk terjatuh dalam jurang nafsu. Seseorang yang bergelayut dengan nafsu seolah buta. Dia tak bisa lagi membedakan mana cinta dan mana nafsu karena seseorang yang sudah terlanjur tenggelam dalam jurang nafsu tidak akan mempan dinasehati ribuan malaikat sekalipun. Dan ini sangat berbahaya. Nah, sobat Nida. Berikut akan diulas perbedaan cinta dan nafsu:
1. Nafsu  adalah ketika kamu hanya melihat dari tampilan luarnya. Hal ini biasanya terjadi dan menjadi cinta pada pandangan pertama. Sedangkann cinta adalah ketika kamu  mencintainya karena dirinya, dirinya secara keseluruhan, baik dari kelebihan atau kekurangannya.
2. Nafsu adalah ketika kamu hanya memikirkan kebahagiaan yang nanti akan dijalani bersama dengan dirinya. Sedangkan cinta menganggap kebahagiaan memang menjadi tujuan, Tapi kamu juga siap dengan penderitaan yang akan dialami dengan dirinya.
3. Nafsu adalah aaat memikirkan dirinya, kamu lebih terfokus pada wajah dan bagian tubuh lainnya. Sedangkan cinta adalah ketika kamu akan memikirkan kebahagiaan, kenangan indah, juga harapan bersama dalam membina rumah tangga dengan dia nantinya.
4. Nafsu hanya membuatmu lebih suka memilih tempat kencan yang sepi dan tidak begitu ramai oleh orang lain. Sedangkan cinta akan membuatmu memilih tempat yang romantis namun masih ada orang disekitarmu, seolah menunjukan "Inilah kekasihku yang paling aku cintai".
5. Nafsu: Tidak ada rencana masa depan. Meskipun ada, itu hanya sebagai alasan untuk tetap bersama dengan dirinya. Cinta : Pemikiran masa depan pasti ada. Bagaimana nanti menjalani kehidupan bersama yang lebih baik. Bukan hanya kebersamaan sesaat yang dipikirkan.
6. Nafsu: Cinta selalu sebagai senjata saat tuntutan tidak terpenuhi. Cinta : Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendapatkan cinta
7. Nafsu: Kamu ingin menghabiskan waktu hanya bersama dengan dirinya, tidak ada orang lain yang terlibat. Cinta: kamu ingin menghabiskan waktu yang sangat berkualitas dengan dirinya. Ada keluarga juga saudara yang menunjukan bahwa ada kebahagiaan disana.
8. Nafsu: Mudah menyerah oleh keadaan. Tidak bisa dengan baik menerima cobaan yang ada. Cinta : Tahan banting dan bisa dengan mudah melalui rintangan yang ada. meskipun kadang tidak memberikan hasil yang diinginkan, setidaknya ada jalan yang baik, itulah cinta.
9. Nafsu : Tidak mudah memaafkan kesalahan masa lalu. Dan sering menganggap itu sebagai masalah. Cinta : Masa lalu biarlah masa lalu. Yang terpenting, saat ini bisa membawa perubahan yang baik.
10. Nafsu : Memanfaat kelebihan yang ada pada pasangan untuk kesenangan. Cinta : Hanya menghargai dan membanggakan kelebihan yang ada pada diri pasangan. kalaupun bisa memberikan manfaat, itu ada diurutan sekian.
11. Nafsu : Memberikan apapun untuk mendapat imbalan yang setimpal. Cinta : Memberi dengan iklhas tanpa meminta imbalan yang pantas.
12. Nafsu : Ada ketertarikan dengan orang yang lebih menarik. Tapi bukan kagum. Cinta : Jika ada Orang yang lebih menarik, hanya kagum dan tidak ada pikiran selain itu.
Semoga Bermanfaat yaa Sob.
Foto ilustrasi: google

Aku Ingin Menikah dengan Sederhana

Aku Ingin Menikah dengan Sederhana
Tak ada puisi hari ini. Sekalipun judul tulisan mengingatkanmu pada karya Sapardi Djoko Damono, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana”.
Bukankah tanda sejati mencinta itu dengan menikah? Ah, bukan beda antara cinta dan pernikahan pula yang hendak dibahas.
Lalu mengapa judulnya harus “menikah” bukan “menikahimu”? Karena kita tidak pernah tahu, apakah dirimu yang kan menghabiskan waktu bersamaku atau orang lain.
Aku ingin mengajakmu, Kawan. Menjelajah ke masa 14 abad yang silam. Di mana hidup seorang pemuda mulia namun sederhana dalam harta. Pun seperti kita hari ini, sang pemuda ini juga ingin menikah. Melamar gadis pujaan hatinya. Kabar buruknya, dia bukan lelaki pertama yang melamar sang gadis pujaan hati. Seorang lelaki, sahabat paling dekat dari ayah sang gadis sudah duluan melamar. Sulit rasanya membayangkan lelaki yang terkenal amat dermawan ini ditolak oleh ayah sang gadis. Ayah sang gadis pun memberi jawaban bahwa anak gadisnya ini masih kecil. Menolak secara halus.
Lalu sahabat dekat ayah sang gadis lainnya melamar. Seorang laki-laki yang amat disegani karena keadilannya. Bahkan setan pun tidak berani mengambil jalan yang dilalui oleh laki-laki ini. Tidak heran rasanya jika ayah sang gadis menerima lamarannya. Ternyata jawaban ayah sang gadis sama dengan pinangan lelaki yang pertama. Mengatakan tidak dengan lembut.
Akhirnya sang pemuda pun melamar gadis pujaan hati. Kabar baiknya, ayah sang gadis pun menerima lamaran sang pemuda lalu menikahkan mereka.
Romantis bukan? Tidak sulit menebak cerita di atas ialah kisah pernikahan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Kawan, bukan romantisme kisah tersebut yang ingin aku ceritakan padamu. Melainkan justru kisah setelah lamaran Ali diterima.
Aku kutip hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan an-Nasai, yang telah dishahihkan oleh al-Hakim.
Dari Ibnu Abbas bahwasanya ketika Ali radhiyallahu ‘anhu menikahi Fatimah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Berikanlah ia (mahar) sesuatu”. Ali menjawab, “Aku tidak memiliki apa pun” lalu Rasulullah bersabda, “Berikanlah baju besimu.”
Kawan, apa yang membuatmu berani melamar seorang gadis?
Ah, pertanyaan ini terlalu sulit dan luas jawabannya. Mari kita ganti pertanyaan agar lebih sederhana untuk menjawabnya.
Kawan, jika kau tidak memiliki apapun, apakah kau berani melamar seorang gadis seperti keberanian Ali melamar Fatimah?
Cukup simpan jawabmu dalam hati.
Andai aku berkesempatan untuk bertemu Rasulullah dalam mimpi saat ini. Ingin sekali kukatakan padanya bahwa aku tidak memiliki apapun seperti Ali. Jika Ali memiliki baju perang, apa yang aku miliki hanyalah “laptop perang”. Laptop yang kugunakan untuk berdakwah lewat kata-kata. Hanya kesamaanku dengan Ali ialah pada “aku tidak memiliki apapun” saja.  Sedangkan pemahaman pada agama ini, kecintaan padamu ya Rasulullah, kedewasaan, dan hal-hal lainnya aku dan Ali bagaikan langit dan bumi.
Kawan, entah apakah kau merasakan apa yang aku rasakan. Memikirkan pernikahan sungguh menyesakkan dada ini. Terbayang biaya puluhan juta bahkan ratusan juta untuk menyelamatkan reputasi keluarga menggelar resepsi, untuk menjadikan sang gadis pujaan hati sebagai ratu sehari, belum lagi mau ke mana kau kan berbulan madu, dan hal-hal tentang materi yang membuat gelap hati.
“Kapan nikahnya kalau mikirin dunia terus?” celoteh seorang Ustadz ketika menceritakan pengalamannya nikah bermodal gaji guru TPA tak seberapa dulu.
Sempat iblis membisikkan hati. Mendingan zina aja deh daripada nikah mahal kayak gini. Pacaran lebih murah dan bisa lepas tanggungjawab gitu aja daripada nikah kan? Kenapa nggak mending pacaran aja?
Jawabnya masih ada iman di hati ini. Biar maksiat tiap hari nggak pernah berhenti, masih ada rasa takut di hati ini. Takut pada Allah. Takut pada azab-Nya, neraka-Nya. Masih ada rasa malu. Kalau rasa malu itu hilang, mau haram pun pasti diterjang.
Lalu adakah puisi Pak Sapardi menginspirasi untuk menikah dengan sederhana? Mengganti diksi mencintaimu dengan menikah?
Tidak. Puisi itu hanyalah inspirasi untuk “judul tulisan” saja, bukan tulisannya.
Aku ingin menikah dengan sederhana.
Jangan-jangan ingin menikah dengan sederhana karena nggak punya uang kan?
Itu betul. Tapi aku menolak untuk takut menikah gara-gara aku tidak memiliki apapun. Aku ingin seperti Ali yang berani melamar Fatimah sekalipun hanya punya baju besi.
Aku ingin menikah dengan sederhana. Sekalipun kelak ketika menikah aku lebih mampu untuk menggelar resepsi yang menyelamatkan martabat keluarga, dengan gedung dan tenda.
Aku ingin menikah dengan sederhana. Karena aku sadar menikah dengan sederhana adalah pilihan. Sekalipun kau punya dunia dengan segalanya, Kawan, kau bisa memutuskan menikah dengan sederhana. Dan sebaliknya, seseorang yang tidak punya dunia pun ternyata bisa menikah dengan “tidak sederhana”. Kulihat satu keluarga menikahkan anaknya dengan utang puluhan juta yang tak tahu apakah sebelum mati mereka kan sempat melunasinya.
Aku ingin menikah dengan sederhana. Tak masalah apabila walimah pernikahan kelak seperti pernikahan Rasulullah dengan Shafiyyah binti Huyay, hanya bertemankan minuman dari air hujan serta makanan dari gandum dan kurma.
Aku ingin menikah dengan sederhana. Akan kugenggam erat idealismeku pada akhirat dan memeluk kenaifanku pada dunia.
Aku ingin menikah dengan sederhana.
Penulis: Agung D. Iswanto
Foto ilustrasi: google

Belahan Jiwa

Belahan Jiwa
Penulis: Donny Muhammad Ramdhan

Aku berlari, mengejar. Tapi pikiranku tidak bisa fokus dengan apa yang aku kejar. Aku tahu aku sedang mengejar seorang penjambret, tapi pikiranku masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Ini seharusnya tidak terjadi? Seharusnya siang ini aku tengah duduk di dalam Mesjid Raya Bandung mendengarkan bahasan Al Quran; bukan berlari di pinggir jalan, bukan di bawah terik matahari!
Ada-ada saja!
Segalanya berawal baik-baik saja pagi tadi! Berawal ketika aku parkir motor di pelataran parkir basement Mesjid Raya Bandung. Istriku tidak segera turun karena dia memang tidak bisa. Aku juga tidak segera turun, tapi aku ambil kursi roda lipat di depanku (Kamu bisa bayangkan motor matic, kan?) lalu memasangnya dengan tangan kanan dan kaki kanan. Setelah kursi itu terpasang, aku turun perlahan supaya motor tetap seimbang, lalu menggendong istriku dan menempatkannya di kursi roda. Kaki istriku sudah tidak bisa berfungsi sejak jauh sekali sebelum kami saling kenal; konon kecelakaan lalu lintas, detilnya aku tidak terlalu tahu; kami baru dua minggu menikah dan informasi seperti itu tentunya butuh waktu untuk mengemuka. Jikapun aku sudah tahu, belum tentu aku akan ceritakan di sini, ya, kan?
“Bisa sendiri atau mau aku dorong?” tanyaku setelah membenahi posisi duduk Intan supaya nyaman.
Intan tersenyum. “Menurutmu gimana?”
Aku tersenyum dan beralih ke belakang kursi rodanya dan mulai mendorong. “Kamu tahu? Aku suka bingung kalau kamu balik tanya seperti itu.”
“Bingung bagaimana?”
“Aku bertanya dan kamu menjawab dengan pertanyaan yang jawabannya sebenarnya aku harap kamu yang menjawabnya.”
“Nah, sekarang siapa yang bingung?”
Aku mendenguskan tawa sebentar sebelum merespon, “Aku hanya berharap kamu menjawab, ‘Kamu saja yang dorong,’ atau ‘Biar aku sendiri.’”
“Tapi kenyataannya sekarang kamu mendorong aku dan aku tidak keberatan, ya, kan?” timpalnya,  “Jadi sebenarnya kamu nggak usah bertanya. Kamu bisa langsung mendorong aku, dan jika aku keberatan, aku akan bilang, ‘Biar aku sendiri.’ Ya, kan?”
“Iya deh, iya deh, aku nggak akan pernah menang adu argumen sama kamu.”
“Benar sekali! Jadi jangan coba-coba!” tandas Intan dengan ketegasan yang dibuat-buat. 
Aku hanya tersenyum.
Kami sampai di ramp untuk keluar dari basement Mesjid Raya Bandung menuju keluar, ke jalan Dalem Kaum. Memang setiap Ahad pagi kami selalu datang ke mesjid ini, menghadiri majelis ta’lim yang dipimpin oleh ayah mertua-ku…. Ah, sebaiknya aku tidak perlu terlalu detil dengan pengajian ini, ya.
“Tapi pertanyaan kamu itu nggak sia-sia juga,” lanjut Intan.
“Maksud kamu?”
“Ya, pertanyaan itu menawarkan dua pilihan, ya, kan? Aku minta didorong atau aku mau sendiri. Tapi aku tetap membuka pertanyaan itu dengan tidak menjawabnya, dan kamu mengambil keputusan untuk mendorong aku. Jadi secara default, kamu bersedia mendorong aku, dan aku tidak bisa tidak untuk berasumsi kalau kebersediaan itu adalah ekstrak dari rasa sayang kamu sama aku, ya, kan? Jika sebaliknya, kamu memutuskan untuk membiarkan aku sendiri, maka aku yang akan bingung. Apa kamu sedang marah? Apa ada yang salah dengan diriku?”
Insight yang aneh,” komentarku.
Well, insight aneh itu datang dari perempuan aneh yang kamu nikahi.”
Aku tersenyum. Entah kenapa, seketika aku terkenang bagaimana pertama kali kami bertemu.
Aku bekerja sebagai security di sebuah bank. Aku ingat waktu itu siang hari, tepatnya waktu makan siang, dan aku sedang bertengger di samping pintu kaca gedung di bagian dalam. Kamu bisa bayangkan bagaimana tugasku? Tentu saja menjaga keamanan, tapi prakteknya tugasku hanya membukakan pintu kaca bagi nasabah dan menyapa ramah. Membosankan bukan main! Kalau boleh memilih, terus terang aku ingin ditugaskan di luar gedung daripada di dalam; di pelataran parkir yang lebih sering menjadi tukang parkir daripada menjaga keamanan, but still, itu lebih baik daripada berdiri kaku dengan senyum dan sapa ramah yang telah terprogram. Bisa saja aku memilih, tapi manager bilang aku punya tampang yang terlalu lumayan untuk terjemur matahari. Bah! Aku sempat sumringah mendapati alasan beliau itu, tapi rasanya tidak sepadan dengan bosan yang mesti aku bayar... Tapi kemudian, siang itu aku mulai merasakan buah kesabaranku menahan bosan.
Waktu makan siang biasanya bank sepi, rekan-rekanku sesama security yang ditugaskan di luar sedang makan siang, sementara aku dan rekan yang berada di dalam mesti menunggu mereka sebelum bisa meninggalkan pos untuk makan siang. Dan, siang itu aku masih berdiri di samping pintu kaca, memindai keluar, lebih cenderung menunggu rekan-rekanku daripada menunggu nasabah. Lalu aku melihat seorang perempuan berjilbab memasuki pelataran parkir.
Yang seketika menarik perhatianku adalah dia memakai kursi roda. Dia menghampiri gedung, dan dia berhenti di tengah jalan. Seketika aku melihat air muka kecewa dan marah. Seketika aku berdeduksi kalau dia memang berniat memakai jasa bank ini, hanya saja dari pelataran parkir ke pintu kaca ini, dia harus melalui beberapa anak tangga yang tentu saja akan sangat sulit bagi pengguna kursi roda—well, ini bank, bukan rumah sakit, tapi tetap saja bukan alasan untuk tidak memberi akses bagi mereka yang punya keterbatasan.
Dia hendak berbalik, dan jiwa chivalry-ku pun meletup, membuatku bergegas keluar dan memanggilnya.
“Nona! Maaf, mungkin saya bisa membantu!” pekik aku seraya menghampirinya.
Dia urung pergi dan menghampiri. “Sudah sejam aku cari ATM, tapi selalu saja ada tangganya!” ucapnya ketus.
“Baik, saya bisa membantu, tapi saya mesti diijinkan untuk memegang kendali kursi roda Anda,” jelasku.
Dia mengangguk, meski dengan sorot mata heran. Mungkin dia tidak mengerti dengan maksudku, atau mungkin hanya merasa aneh dengan gaya bicaraku, ah entahlah. Anyway, aku beralih ke belakang kursi rodanya dan mulai mendorong. Di tangga, aku alihkan tanganku ke pegangan tangan di tiap sisi kursi roda itu.
“Maaf, Nona. Ini akan sedikit berguncang,” kataku, lalu aku mengangkat kursi roda itu sekaligus si Nona. Sulit dan berat, tapi tidak mustahil. Tidak lebih dari dua menit, si Nona berhasil mencapai deretan pintu kaca ruang ATM di selasar kanan gedung.
“Aku benci bank!” gumam si Nona pada dirinya sendiri saat aku membukakan salah satu pintu ruang ATM. Dia masuk, aku menutup pintu, dan menunggunya karena tentu saja dia membutuhkan bantuan untuk kembali turun tangga.
Turunnya sebenarnya lebih sederhana—dengan menarik kursi roda mundur dan menahan bebannya di tiap anak tangga—hanya saja lebih banyak guncangan daripada saat naik. Karena guncangan itu, di tangga terakhir aku melihat ada sesuatu yang jatuh dari kursi rodanya. Sesuatu itu adalah sebuah Al Quran. Seketika benakku berdeduksi; mengingat jarak Mesjid Raya Bandung tidak terlalu jauh, aku bisa berasumsi kalau nona ini aktif dalam pengajian. Aku bisa saja salah, tapi itu tidak penting karena asumsi itu hilang dalam benakku saat memungut Al Quran itu dan mendengar si Nona berbisik pada dirinya sendiri, “Aku benar-benar benci bank!”
Aku tersenyum seraya mengembalikan Al Quran itu. “Anda tahu, Nona? Di Quran, Nabi Musa pernah berdoa, ‘Rabbi nadzini minal qaumidzolimin—Ya Tuhan, jauhkan aku dari kaum yang dzalim.’ Tapi kenapa Allah malah memerintahnya mendatangi Firaun, seolah-olah Dia menolak doanya Nabi Musa?”
Kulihat si Nona tercenung. “Hmm, itu belum pernah terpikir olehku,” katanya. “Kamu tahu kenapa?”
Aku tidak segera merespon karena aku melihat rekanku telah berdatangan dari makan siangnya, dan kini giliranku. “Maaf, Nona. Sekarang waktu makan siang saya; waktunya agak sempit…. Atau Nona mau bergabung; di dekat sini ada mie ayam yang lezat.”
“Mie Ayam di Simpang Lima?”
“Benar. Nona tahu?”
Well, siapa yang bisa menolak itu?” Dia tersenyum lebar dan mulai memutar roda kursi rodanya.
“Biar saya yang dorong,” tawarku. “Nama saya Jimi.”
“Aku Intan.”
Begitulah kami berkenalan.
“Jadi kenapa Allah menyuruh Nabi Musa mendatangi Firaun?” tanya Intan ketika kami keluar dari pelataran parkir bank.
“Terus terang sebenarnya saya lebih berharap Nona yang memberi tahu saya. Saya bukan ahli pengajian; sejauh ini saya cuma bisa berpendapat saja.”
“Jadi pendapat kamu gimana?”
“Menurut saya sih, kita mesti hati-hati berdoa. Nabi Musa disuruh ke Firaun untuk menunjukkan pada Nabi Musa, siapa yang sebenarnya dzalim, seperti apa orang yang dzalim itu; memberi Nabi Musa skema utuh antara yang dzalim dan yang tidak. Seperti… seperti ini; jika kita berdoa ingin kaya, maka Allah akan membuat kita miskin dulu supaya merasakan secara sempurna rasanya menjadi kaya.”
“Hmm, masuk akal juga,” tanggap Intan.
“Atau buat Nona mungkin bisa seperti ini; kalau Nona benci bank, mungkin Nona seharusnya menjadi bankir dan membuat gedung bank yang memiliki akses kursi roda. Kalau kita benci dokter, sebaiknya kita menjadi dokter, terus kita perbaiki apa yang kita benci dari dokter. Seperti itu lah.”
“Dan kamu benci satpam, makanya kamu jadi satpam?” komentar Intan.
Aku tersenyum. “Sebenarnya saya benci polisi, tapi nggak kesampaian jadi polisi, cuma bisa jadi satpam.”
Intan tertawa. Tawa terindah yang pernah aku dengar.
Delapan bulan kemudian aku menikahinya.
Kami tidak langsung memasuki mesjid. Pengajian dimulai pukul sepuluh hingga dzuhur; jam di tanganku masih menunjukkan pukul delapan. Ini sudah biasa sejak kami belum menikah. Dua jam sebelum pengajian kami habiskan di taman depan mesjid; mengekstrak vitamin D dari mentari pagi sambil berdiskusi tentang apa saja yang terlintas di pikiran kami. Hanya saja pagi ini kami tidak berdiskusi apa-apa. Intan memejamkan matanya seraya menengadah, menikmati hangatnya mentari pagi, sementara aku memijat-mijat pelan pundaknya.
Kemudian sesuatu menarik perhatianku. Kulihat seorang anak laki-laki sekitar usia delapan tahun bersama ayahnya. Di leher bocah itu terkalung teropong binokuler, memberiku petunjuk kemana bocah itu akan pergi. Ayah-anak itu hendak mengunjungi menara kembar mesjid ini.
Memang setiap akhir pekan menara Mesjid Raya Bandung ini berubah menjadi objek wisata. Tingginya yang menjulang sejauh 81 meter menjanjikan pemandangan indah lansekap kota Bandung. Konon sebenarnya tinggi menara itu rencananya 99 meter sebagaimana jumlah asmaul husna, tapi karena pertimbangan lalu lintas udara (agak jauh ke sebelah barat terdapat bandar udara Husein Sastranegara) maka tingginya dipangkas. Tapi konon fondasi kedua menara itu ditanam sedalam 18 meter, jadi jumlahnya tetap 99 meter, aku tidak tahu pasti, tapi tetap saja membuatku sedikit bertanya-tanya. Seandainya seluruh manusia beriman dan bertaqwa kepada Allah, akankah bandaranya yang pindah dan bukan tinggi menaranya yang dipangkas? Hanya Allah yang tahu.
“Abi, Abi, nanti rumah kita bisa kelihatan, kan?” ujar bocah itu seraya menggoyang-goyang tangan ayahnya.
“Mungkin bisa,” jawab sang ayah, “kita lihat saja nanti. Rumah kita sebelah mana?”
Si bocah berpikir sejenak sebelum berseru, “Sebelah timur!”
Aku tersenyum. Dan masih tersenyum saat kurasakan punggung tanganku disentuh Intan. Ada kesedihan dari sentuhannya itu dan aku tahu kesedihan itu berasal dari mana. Dia mungkin melihatku memerhatikan bocah itu dan segera mengingatkan dia akan kondisi dirinya; kecelakaan yang pernah dialaminya membuat kami akan sulit dikaruniai momongan—Ah, sudahlah, aku tidak mau membahasnya lebih jauh lagi!
“Maaf, ya, Jim,” ucap Intan, tapi segera aku potong.
“Sshh! Diam! Jangan dibahas! Aku menikahimu dengan segala konsekuensinya, Intan! Jangan menebar energi negatif!”
Sejenak kami terdiam. Lalu Intan mencetuskan sebuah ide.
“Kayaknya kali ini aku rada males ikut pengajian,” ucap Intan.
“Terus kamu mau ngapain?”
“Kita ke Pasar Baru, yuk? Aku perlu kerudung baru.”
Terus terang aku ingin menolaknya. Memang Pasar Baru tidak jauh dari sini; sekitar seratus meter ke barat laut, tapi tetap saja aku yang mesti mendorongnya, ya, kan? Mendorongnya menembus keramaian pusat perbelanjaan, dan mesti mengangkatnya ketika menghadapi sisi trotoar atau tangga. Aku juga mesti menunggu ketika dia memilih, dan mesti memberi jawaban ketika dimintai pendapat padahal pendapatku tak ada pengaruhnya sama sekali. Ah, bukannya aku mengeluh! Aku hanya…. Aku memang mencintainya, aku sangat menyayanginya, tapi kadang ada “gesekan” yang membuatku “terganggu”, “irritate”, “getting on my nerve”, bisa dimengerti, kan? Tapi aku ingat kalau Rasulullah suka menyenangkan hati istri-istri beliau, maka aku pun sudah semestinya juga, ya, kan?
“Boleh lah,” tanggapku seraya mulai mendorong kursi rodanya.
Sungguh aku tidak menyesal menikahi Intan. Aku yakin aku memilih keputusan yang tepat! Meski memang keyakinan ini tak lepas dari ujian. Banyak teman-temanku yang berkomentar, “Emangnya nggak ada cewek lain apa, sampai kamu mau kawini cewek lumpuh!” Biasanya aku menanggapi komentar itu dengan senyum blo'on dan berkata, “Alhamdulillah nggak ada.” Sementara keluargaku—well, aku tidak kuatir dengan keluargaku. Aku berasal dari keluarga non-muslim, dan mereka telah mencoret aku dari keanggotaan setelah memilih menjadi muslim. Tapi aku bisa menebak komentar mereka, “Wah, si Jimi itu benar-benar sudah sinting! Udah tolol dia jadi orang Islam, eh sekarang dia kawin sama cewek lumpuh! Mandul lagi!”
Ujian yang berat memang. Kadang aku sesak dibuatnya. Kadang pula aku terbangun di malam hari dan seraya menatap wajah terlelap Intan di sisiku, aku rapal sebait doa, “Oh Allah, berilah aku petunjuk kalau aku memang mengambil keputusan yang benar. Dan mudahkan aku, untuk selalu mengambil keputusan yang benar, yang selaras dengan kehendakMu, wahai Dzat yang menguasai jiwa raga ini.” 

Aku dorong kursi roda Intan menyeberangi jalan Asia-Afrika yang persis merapat di sisi utara taman Mesjid Raya. Kami sempatkan berterima kasih kepada seorang polisi yang membantu kami menyeberang hingga kami bisa mencapai depan Kantor Pos Indonesia. Lalu kami ambil arah barat, menyusuri sisi jalan hingga jalan Asia-Afrika ini terpotong oleh jalan Otto Iskandardinata. Kami seberangi jalan dan ambil arah utara. Kami sampai di Pasar Baru satu jam kemudian. Bisa saja kami sampai dalam waktu lima belas menit, jika Intan tidak meminta memasuki beberapa toko untuk melihat-lihat.
“Gimana menurutmu?” tanya Intan seraya mencoba selembar kain kerudung yang warnanya kuning yang menurutku jelek dan norak. Aku yakin dia pasti bercanda.
“Boleh juga,” tanggapku, “tapi apa kamu yakin nanti nggak ada yang komentar di Facebook kamu, ‘Wah, Intan, tadi aku lihat suami kamu bawa-bawa sekarung jagung ke pengajian!’”
Intan tertawa dan mencoba mencubitku. “Bisa saja kamu!”
Aku berkelit dan ikut tertawa, meski terus terang, batinku merefleksi ayat terakhir Al Imran, “Bersabarlah, dan bersabarlah, dan kuatkanlah, dan bertakwalah, semoga engkau beruntung!”
Dua jam kami baru bisa keluar dari gedung Pasar Baru, untuk satu kerudung yang Intan inginkan. Hanya satu! Bersabarlah, Jim, bersabarlah!
Tanganku mulai pegal ketika aku menahan kursi roda Intan saat kami menuruni anak tangga terakhir gedung Pasar Baru. Terus terang, cukup lega juga bisa kembali ke pinggir jalan. Lalu tiba-tiba aku dengar suara ringtone ponsel Intan dari dalam tasnya. Intan ambil ponselnya, tapi tidak segera diangkat. Wajahnya mendadak terlihat ragu saat melihat layar. Aku bisa segera berasumsi kalau yang menelpon adalah ayah mertuaku; mungkin mempertanyakan ketidakhadiran kami di pengajiannya.
Belum sempat Intan bangun dari keraguannya, tiba-tiba sesuatu mengejutkan kami. Seseorang menyambar tasnya Intan! Seorang laki-laki kurus berjaket jeans!
“Hey!Jambret!” pekik aku seraya mulai berlari mengejar meski hanya beberapa langkah karena mendadak keraguan menghadangku. Jika aku mengejarnya, maka aku meninggalkan Intan sendirian di tengah keramaian! Aku sempat melirik Intan dan memang aku melihat takut dan aprehensif dari air mukanya, tapi dari sorot mata dan kata “Kejar!” yang keluar dari bibirnya, segera memberiku mandat untuk mendapatkan kembali tasnya itu! Aku kembali mengejar meski  batinku masih ragu. Apa Intan akan baik-baik saja aku tinggalkan sendiri?
Sempat aku kehilangan penjambret itu, tapi kemudian aku melihatnya menyeberang jalan dan memasuki jalan kecil berlabel jalan Pecinan Lama. Dengan cepat aku ikut menyeberang dan mengikutinya. Mungkin kamu berpikir akan ada baiknya kalau aku berteriak, “Jambret! Jambret!”, tapi percayalah itu tidak akan efektif; teriakanku hanya akan menarik perhatian saja, selebihnya hanya mempercepat lari bajingan itu dan memperlambat nafasku untuk berlari mengejar. Dan memang aku lihat bajingan itu memperlambat larinya seolah mulai merasa aman. Dan, aku bisa saja menyergapnya seandainya dia tidak menoleh. Melihatku sebagai ancaman, dia pun berlari lagi!
Aku sempat menarik jaket bajingan itu! Tapi dia mendadak berbalik, yang seketika bisa aku baca akan adanya ancaman. Sekelebat aku melihat tangannya menggenggam benda tajam yang akan merobek perutku jika aku tidak segera melompat mundur. Aku memang melompat mundur, tapi sialnya di belakangku ada sepeda motor terparkir dan membuatku terjungkal. Bajingan itu  tidak meneruskan serangannya, tapi memutuskan kabur. Aku bangkit dan kembali berlari mengejar!
Dia berbelok ke kanan! Memasuki seruas gang sempit! Dalam prosesnya dia sempat menarik tumpukan krat minuman botol milik sebuah kios untuk menghadang jalanku. Sumpah serapah bersahutan dari orang sekitar kios, sementara aku terus berlari dan melompat setinggi yang aku bisa untuk melewati rintangan itu! Aku sempat berguling saat mendarat akibat momentum lompatanku.
“Bajingan!” seru aku yang tidak membangun hal positif selain melepas amarahku. Aku bangkit dan terus mengejar! Ya Allah,, apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Gang berakhir di seruas jalan yang aku kenali bernama jalan ABC; pusat barang-barang elektronik yang memang selalu ramai. Aku kehilangan bajingan itu di sana. Di mulut gang itu aku berhenti berlari dan merunduk seraya memegang kedua lututku. Oh ya Allah, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Lalu aku rasakan ponsel di saku celanaku bergetar; dari Intan.
“Oh, apa lagi sekarang!” keluhku seraya mengangkat ponsel itu.
Belum sempat aku mengucapkan salam atau semacamnya, Intan langsung berkata, “Jim, pasang ear-phone ponsel kamu!”
“Apa?!” Aku heran.
“Cepat pasang ear-phone ponsel kamu! Kamu di mana?”
“Jalan ABC,” jawabku seraya menarik kabel ear-phone ponselku dari saku.
“Ambil arah timur sampai ke perempatan Banceuy! Cepat!”
Aku pasang ear-phone. “Ada apa, Intan? Kamu di mana?”
“Cepat lari, Jim! Lakukan apa yang aku katakan!”
Aku berlari sampai jalan ini berakhir di perempatan.
“Oke aku lihat kamu. Seberangi jalan, terus berlari ke timur sampai jalan Cikapundung, belok kanan!”
Aku makin heran. “Kamu lihat aku? Kamu di mana?”
“Cepat, Jim! Nggak ada waktu lagi! Bilang kalau kamu sampai di Cikapundung! Aku harap bisa kurang dari semenit!”
Aku turuti perintah Intan. Aku seberangi jalan Banceuy, berlari secepat yang aku bisa ke arah timur hingga mencapai jalan Cikapundung Barat lalu aku ambil arah kanan. “Aku sampai,” kataku meski kesulitan karena nafasku terpenggal-penggal.
“Di depan gedung Balai Sumur Bandung ada jembatan penyeberangan. Kamu naik! Cepat, ya!”
Aku terus berlari meski kakiku mulai merasa lelah.
“Yes!” aku dengar Intan memekik. “Sekarang kamu jalan, terus naiki jembatan penyeberangan!”
Bak kerbau dicocok hidung, aku turuti perintah Intan meski tidak tahu permainan apa yang Intan mainkan. Aku naiki jembatan penyeberangan tapi tak lebih dari sepuluh anak tangga aku dengar perintah baru Intan.
“Sekarang berhenti! Terus merunduk! Pura-pura mengikatkan tali sepatu!”
“Aku pakai sandal, Intan!”
“Lakukan, Jim!”
Aku menurut.
“Sekarang, kamu melirik ke kanan.”
Aku melirik ke kanan.
“Kamu bisa lihat? Laki-laki jaket blue jeans yang bawa tasku?”
Aku terpekur seketika! Aku melihatnya! Bajingan itu berjalan santai dari arah barat mendekatiku, menyusuri trotoar jalan Asia-Afrika sambil menenteng tas istriku, seolah merasa aman. Seketika juga aku bisa menghargai kecerdikan Intan dengan menyuruhku menaiki jembatan penyeberangan, karena kalau tidak, aku dan bajingan itu akan berpapasan dan dia akan segera menyadari kehadiranku.
Aku masih merunduk saat bajingan itu berjalan semakin dekat. Dia semakin dekat dan akan melewati kolong jembatan penyeberangan ini jika aku tidak mencegahnya. Dari tangga jembatan aku melompat! Aku siapkan sikut kananku untuk menghantam bahu bajingan itu!
BUK!
Bajingan itu mengerang dan tersungkur. Aku secepatnya resolve dari momentum jatuhku dan segera memiting tangan bajingan itu! Dengan menggunakan lututku, aku tindih punggung bajingan itu, menahannya tetap di tanah! Lalu aku cari orang terdekat dan berteriak, “Di depan kantor pos ada polisi! Cepat panggilkan!”
Orang itu sempat kaget tapi segera menuruti perintahku.
“Yes!” kudengar pekikan Intan di ear-phone. “Kamu hebat, kamu tahu itu?”
“Kamu di mana?” tanyaku.
“Kamu ingat anak laki-laki yang bawa teropong tadi pagi?”
Keningku mengerenyit heran, tapi itu sedikit-banyak memberi tahu aku ke mana mesti melihat. Aku menengadah, melihat puncak menara utara Mesjid Raya Bandung.
“Yah, bukan anak laki-laki tadi, sih, tapi ada seorang pengunjung yang bawa teropong. Aku meminjamnya. Kamu bisa lihat aku?”
Aku melihat lambaian di puncak menara itu.
Aku terdiam! Terpana! Tak bisa berkata apa-apa! Batinku sempat bertanya, “Bagaimana dia bisa sampai di atas sana?” Tapi aku tahu kalau aku tidak akan pernah tahu sampai Intan menceritakannya kepadaku. Tapi faktanya sekarang dia di atas sana! Dan, secara strategis menuntunku menangkap bajingan ini! Lebih dari itu, intelegensia dan imajinasiku berkolaborasi menyibak tirai ignoran dan mempersembahkan kesimpulan sederhana, “Allah sedang mengabulkan doamu, Jim!”
Seolah…, seolah pada momen ini, Allah menepuk pundakku dan berkata, “Kamu telah mengambil keputusan yang tepat, Jim. Sebagaimana dirimu, istrimu adalah hambaKu juga! Kamu harus sedikit lebih percaya padanya. Dia tidak sepenuhnya tidak berdaya. Kau akan banyak melihat hal-hal yang mengejutkan dari mereka yang Aku beri keterbatasan! Dia teman satu tim yang hebat, bukan? Dialah partner seumur hidupmu! Dialah belahan jiwamu!”
Oh, segala puji bagiMu, ya Allah….
Selesai