Latest Updates

Belahan Jiwa

Penulis: Donny Muhammad Ramdhan

Aku berlari, mengejar. Tapi pikiranku tidak bisa fokus dengan apa yang aku kejar. Aku tahu aku sedang mengejar seorang penjambret, tapi pikiranku masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Ini seharusnya tidak terjadi? Seharusnya siang ini aku tengah duduk di dalam Mesjid Raya Bandung mendengarkan bahasan Al Quran; bukan berlari di pinggir jalan, bukan di bawah terik matahari!
Ada-ada saja!
Segalanya berawal baik-baik saja pagi tadi! Berawal ketika aku parkir motor di pelataran parkir basement Mesjid Raya Bandung. Istriku tidak segera turun karena dia memang tidak bisa. Aku juga tidak segera turun, tapi aku ambil kursi roda lipat di depanku (Kamu bisa bayangkan motor matic, kan?) lalu memasangnya dengan tangan kanan dan kaki kanan. Setelah kursi itu terpasang, aku turun perlahan supaya motor tetap seimbang, lalu menggendong istriku dan menempatkannya di kursi roda. Kaki istriku sudah tidak bisa berfungsi sejak jauh sekali sebelum kami saling kenal; konon kecelakaan lalu lintas, detilnya aku tidak terlalu tahu; kami baru dua minggu menikah dan informasi seperti itu tentunya butuh waktu untuk mengemuka. Jikapun aku sudah tahu, belum tentu aku akan ceritakan di sini, ya, kan?
“Bisa sendiri atau mau aku dorong?” tanyaku setelah membenahi posisi duduk Intan supaya nyaman.
Intan tersenyum. “Menurutmu gimana?”
Aku tersenyum dan beralih ke belakang kursi rodanya dan mulai mendorong. “Kamu tahu? Aku suka bingung kalau kamu balik tanya seperti itu.”
“Bingung bagaimana?”
“Aku bertanya dan kamu menjawab dengan pertanyaan yang jawabannya sebenarnya aku harap kamu yang menjawabnya.”
“Nah, sekarang siapa yang bingung?”
Aku mendenguskan tawa sebentar sebelum merespon, “Aku hanya berharap kamu menjawab, ‘Kamu saja yang dorong,’ atau ‘Biar aku sendiri.’”
“Tapi kenyataannya sekarang kamu mendorong aku dan aku tidak keberatan, ya, kan?” timpalnya,  “Jadi sebenarnya kamu nggak usah bertanya. Kamu bisa langsung mendorong aku, dan jika aku keberatan, aku akan bilang, ‘Biar aku sendiri.’ Ya, kan?”
“Iya deh, iya deh, aku nggak akan pernah menang adu argumen sama kamu.”
“Benar sekali! Jadi jangan coba-coba!” tandas Intan dengan ketegasan yang dibuat-buat. 
Aku hanya tersenyum.
Kami sampai di ramp untuk keluar dari basement Mesjid Raya Bandung menuju keluar, ke jalan Dalem Kaum. Memang setiap Ahad pagi kami selalu datang ke mesjid ini, menghadiri majelis ta’lim yang dipimpin oleh ayah mertua-ku…. Ah, sebaiknya aku tidak perlu terlalu detil dengan pengajian ini, ya.
“Tapi pertanyaan kamu itu nggak sia-sia juga,” lanjut Intan.
“Maksud kamu?”
“Ya, pertanyaan itu menawarkan dua pilihan, ya, kan? Aku minta didorong atau aku mau sendiri. Tapi aku tetap membuka pertanyaan itu dengan tidak menjawabnya, dan kamu mengambil keputusan untuk mendorong aku. Jadi secara default, kamu bersedia mendorong aku, dan aku tidak bisa tidak untuk berasumsi kalau kebersediaan itu adalah ekstrak dari rasa sayang kamu sama aku, ya, kan? Jika sebaliknya, kamu memutuskan untuk membiarkan aku sendiri, maka aku yang akan bingung. Apa kamu sedang marah? Apa ada yang salah dengan diriku?”
Insight yang aneh,” komentarku.
Well, insight aneh itu datang dari perempuan aneh yang kamu nikahi.”
Aku tersenyum. Entah kenapa, seketika aku terkenang bagaimana pertama kali kami bertemu.
Aku bekerja sebagai security di sebuah bank. Aku ingat waktu itu siang hari, tepatnya waktu makan siang, dan aku sedang bertengger di samping pintu kaca gedung di bagian dalam. Kamu bisa bayangkan bagaimana tugasku? Tentu saja menjaga keamanan, tapi prakteknya tugasku hanya membukakan pintu kaca bagi nasabah dan menyapa ramah. Membosankan bukan main! Kalau boleh memilih, terus terang aku ingin ditugaskan di luar gedung daripada di dalam; di pelataran parkir yang lebih sering menjadi tukang parkir daripada menjaga keamanan, but still, itu lebih baik daripada berdiri kaku dengan senyum dan sapa ramah yang telah terprogram. Bisa saja aku memilih, tapi manager bilang aku punya tampang yang terlalu lumayan untuk terjemur matahari. Bah! Aku sempat sumringah mendapati alasan beliau itu, tapi rasanya tidak sepadan dengan bosan yang mesti aku bayar... Tapi kemudian, siang itu aku mulai merasakan buah kesabaranku menahan bosan.
Waktu makan siang biasanya bank sepi, rekan-rekanku sesama security yang ditugaskan di luar sedang makan siang, sementara aku dan rekan yang berada di dalam mesti menunggu mereka sebelum bisa meninggalkan pos untuk makan siang. Dan, siang itu aku masih berdiri di samping pintu kaca, memindai keluar, lebih cenderung menunggu rekan-rekanku daripada menunggu nasabah. Lalu aku melihat seorang perempuan berjilbab memasuki pelataran parkir.
Yang seketika menarik perhatianku adalah dia memakai kursi roda. Dia menghampiri gedung, dan dia berhenti di tengah jalan. Seketika aku melihat air muka kecewa dan marah. Seketika aku berdeduksi kalau dia memang berniat memakai jasa bank ini, hanya saja dari pelataran parkir ke pintu kaca ini, dia harus melalui beberapa anak tangga yang tentu saja akan sangat sulit bagi pengguna kursi roda—well, ini bank, bukan rumah sakit, tapi tetap saja bukan alasan untuk tidak memberi akses bagi mereka yang punya keterbatasan.
Dia hendak berbalik, dan jiwa chivalry-ku pun meletup, membuatku bergegas keluar dan memanggilnya.
“Nona! Maaf, mungkin saya bisa membantu!” pekik aku seraya menghampirinya.
Dia urung pergi dan menghampiri. “Sudah sejam aku cari ATM, tapi selalu saja ada tangganya!” ucapnya ketus.
“Baik, saya bisa membantu, tapi saya mesti diijinkan untuk memegang kendali kursi roda Anda,” jelasku.
Dia mengangguk, meski dengan sorot mata heran. Mungkin dia tidak mengerti dengan maksudku, atau mungkin hanya merasa aneh dengan gaya bicaraku, ah entahlah. Anyway, aku beralih ke belakang kursi rodanya dan mulai mendorong. Di tangga, aku alihkan tanganku ke pegangan tangan di tiap sisi kursi roda itu.
“Maaf, Nona. Ini akan sedikit berguncang,” kataku, lalu aku mengangkat kursi roda itu sekaligus si Nona. Sulit dan berat, tapi tidak mustahil. Tidak lebih dari dua menit, si Nona berhasil mencapai deretan pintu kaca ruang ATM di selasar kanan gedung.
“Aku benci bank!” gumam si Nona pada dirinya sendiri saat aku membukakan salah satu pintu ruang ATM. Dia masuk, aku menutup pintu, dan menunggunya karena tentu saja dia membutuhkan bantuan untuk kembali turun tangga.
Turunnya sebenarnya lebih sederhana—dengan menarik kursi roda mundur dan menahan bebannya di tiap anak tangga—hanya saja lebih banyak guncangan daripada saat naik. Karena guncangan itu, di tangga terakhir aku melihat ada sesuatu yang jatuh dari kursi rodanya. Sesuatu itu adalah sebuah Al Quran. Seketika benakku berdeduksi; mengingat jarak Mesjid Raya Bandung tidak terlalu jauh, aku bisa berasumsi kalau nona ini aktif dalam pengajian. Aku bisa saja salah, tapi itu tidak penting karena asumsi itu hilang dalam benakku saat memungut Al Quran itu dan mendengar si Nona berbisik pada dirinya sendiri, “Aku benar-benar benci bank!”
Aku tersenyum seraya mengembalikan Al Quran itu. “Anda tahu, Nona? Di Quran, Nabi Musa pernah berdoa, ‘Rabbi nadzini minal qaumidzolimin—Ya Tuhan, jauhkan aku dari kaum yang dzalim.’ Tapi kenapa Allah malah memerintahnya mendatangi Firaun, seolah-olah Dia menolak doanya Nabi Musa?”
Kulihat si Nona tercenung. “Hmm, itu belum pernah terpikir olehku,” katanya. “Kamu tahu kenapa?”
Aku tidak segera merespon karena aku melihat rekanku telah berdatangan dari makan siangnya, dan kini giliranku. “Maaf, Nona. Sekarang waktu makan siang saya; waktunya agak sempit…. Atau Nona mau bergabung; di dekat sini ada mie ayam yang lezat.”
“Mie Ayam di Simpang Lima?”
“Benar. Nona tahu?”
Well, siapa yang bisa menolak itu?” Dia tersenyum lebar dan mulai memutar roda kursi rodanya.
“Biar saya yang dorong,” tawarku. “Nama saya Jimi.”
“Aku Intan.”
Begitulah kami berkenalan.
“Jadi kenapa Allah menyuruh Nabi Musa mendatangi Firaun?” tanya Intan ketika kami keluar dari pelataran parkir bank.
“Terus terang sebenarnya saya lebih berharap Nona yang memberi tahu saya. Saya bukan ahli pengajian; sejauh ini saya cuma bisa berpendapat saja.”
“Jadi pendapat kamu gimana?”
“Menurut saya sih, kita mesti hati-hati berdoa. Nabi Musa disuruh ke Firaun untuk menunjukkan pada Nabi Musa, siapa yang sebenarnya dzalim, seperti apa orang yang dzalim itu; memberi Nabi Musa skema utuh antara yang dzalim dan yang tidak. Seperti… seperti ini; jika kita berdoa ingin kaya, maka Allah akan membuat kita miskin dulu supaya merasakan secara sempurna rasanya menjadi kaya.”
“Hmm, masuk akal juga,” tanggap Intan.
“Atau buat Nona mungkin bisa seperti ini; kalau Nona benci bank, mungkin Nona seharusnya menjadi bankir dan membuat gedung bank yang memiliki akses kursi roda. Kalau kita benci dokter, sebaiknya kita menjadi dokter, terus kita perbaiki apa yang kita benci dari dokter. Seperti itu lah.”
“Dan kamu benci satpam, makanya kamu jadi satpam?” komentar Intan.
Aku tersenyum. “Sebenarnya saya benci polisi, tapi nggak kesampaian jadi polisi, cuma bisa jadi satpam.”
Intan tertawa. Tawa terindah yang pernah aku dengar.
Delapan bulan kemudian aku menikahinya.
Kami tidak langsung memasuki mesjid. Pengajian dimulai pukul sepuluh hingga dzuhur; jam di tanganku masih menunjukkan pukul delapan. Ini sudah biasa sejak kami belum menikah. Dua jam sebelum pengajian kami habiskan di taman depan mesjid; mengekstrak vitamin D dari mentari pagi sambil berdiskusi tentang apa saja yang terlintas di pikiran kami. Hanya saja pagi ini kami tidak berdiskusi apa-apa. Intan memejamkan matanya seraya menengadah, menikmati hangatnya mentari pagi, sementara aku memijat-mijat pelan pundaknya.
Kemudian sesuatu menarik perhatianku. Kulihat seorang anak laki-laki sekitar usia delapan tahun bersama ayahnya. Di leher bocah itu terkalung teropong binokuler, memberiku petunjuk kemana bocah itu akan pergi. Ayah-anak itu hendak mengunjungi menara kembar mesjid ini.
Memang setiap akhir pekan menara Mesjid Raya Bandung ini berubah menjadi objek wisata. Tingginya yang menjulang sejauh 81 meter menjanjikan pemandangan indah lansekap kota Bandung. Konon sebenarnya tinggi menara itu rencananya 99 meter sebagaimana jumlah asmaul husna, tapi karena pertimbangan lalu lintas udara (agak jauh ke sebelah barat terdapat bandar udara Husein Sastranegara) maka tingginya dipangkas. Tapi konon fondasi kedua menara itu ditanam sedalam 18 meter, jadi jumlahnya tetap 99 meter, aku tidak tahu pasti, tapi tetap saja membuatku sedikit bertanya-tanya. Seandainya seluruh manusia beriman dan bertaqwa kepada Allah, akankah bandaranya yang pindah dan bukan tinggi menaranya yang dipangkas? Hanya Allah yang tahu.
“Abi, Abi, nanti rumah kita bisa kelihatan, kan?” ujar bocah itu seraya menggoyang-goyang tangan ayahnya.
“Mungkin bisa,” jawab sang ayah, “kita lihat saja nanti. Rumah kita sebelah mana?”
Si bocah berpikir sejenak sebelum berseru, “Sebelah timur!”
Aku tersenyum. Dan masih tersenyum saat kurasakan punggung tanganku disentuh Intan. Ada kesedihan dari sentuhannya itu dan aku tahu kesedihan itu berasal dari mana. Dia mungkin melihatku memerhatikan bocah itu dan segera mengingatkan dia akan kondisi dirinya; kecelakaan yang pernah dialaminya membuat kami akan sulit dikaruniai momongan—Ah, sudahlah, aku tidak mau membahasnya lebih jauh lagi!
“Maaf, ya, Jim,” ucap Intan, tapi segera aku potong.
“Sshh! Diam! Jangan dibahas! Aku menikahimu dengan segala konsekuensinya, Intan! Jangan menebar energi negatif!”
Sejenak kami terdiam. Lalu Intan mencetuskan sebuah ide.
“Kayaknya kali ini aku rada males ikut pengajian,” ucap Intan.
“Terus kamu mau ngapain?”
“Kita ke Pasar Baru, yuk? Aku perlu kerudung baru.”
Terus terang aku ingin menolaknya. Memang Pasar Baru tidak jauh dari sini; sekitar seratus meter ke barat laut, tapi tetap saja aku yang mesti mendorongnya, ya, kan? Mendorongnya menembus keramaian pusat perbelanjaan, dan mesti mengangkatnya ketika menghadapi sisi trotoar atau tangga. Aku juga mesti menunggu ketika dia memilih, dan mesti memberi jawaban ketika dimintai pendapat padahal pendapatku tak ada pengaruhnya sama sekali. Ah, bukannya aku mengeluh! Aku hanya…. Aku memang mencintainya, aku sangat menyayanginya, tapi kadang ada “gesekan” yang membuatku “terganggu”, “irritate”, “getting on my nerve”, bisa dimengerti, kan? Tapi aku ingat kalau Rasulullah suka menyenangkan hati istri-istri beliau, maka aku pun sudah semestinya juga, ya, kan?
“Boleh lah,” tanggapku seraya mulai mendorong kursi rodanya.
Sungguh aku tidak menyesal menikahi Intan. Aku yakin aku memilih keputusan yang tepat! Meski memang keyakinan ini tak lepas dari ujian. Banyak teman-temanku yang berkomentar, “Emangnya nggak ada cewek lain apa, sampai kamu mau kawini cewek lumpuh!” Biasanya aku menanggapi komentar itu dengan senyum blo'on dan berkata, “Alhamdulillah nggak ada.” Sementara keluargaku—well, aku tidak kuatir dengan keluargaku. Aku berasal dari keluarga non-muslim, dan mereka telah mencoret aku dari keanggotaan setelah memilih menjadi muslim. Tapi aku bisa menebak komentar mereka, “Wah, si Jimi itu benar-benar sudah sinting! Udah tolol dia jadi orang Islam, eh sekarang dia kawin sama cewek lumpuh! Mandul lagi!”
Ujian yang berat memang. Kadang aku sesak dibuatnya. Kadang pula aku terbangun di malam hari dan seraya menatap wajah terlelap Intan di sisiku, aku rapal sebait doa, “Oh Allah, berilah aku petunjuk kalau aku memang mengambil keputusan yang benar. Dan mudahkan aku, untuk selalu mengambil keputusan yang benar, yang selaras dengan kehendakMu, wahai Dzat yang menguasai jiwa raga ini.” 

Aku dorong kursi roda Intan menyeberangi jalan Asia-Afrika yang persis merapat di sisi utara taman Mesjid Raya. Kami sempatkan berterima kasih kepada seorang polisi yang membantu kami menyeberang hingga kami bisa mencapai depan Kantor Pos Indonesia. Lalu kami ambil arah barat, menyusuri sisi jalan hingga jalan Asia-Afrika ini terpotong oleh jalan Otto Iskandardinata. Kami seberangi jalan dan ambil arah utara. Kami sampai di Pasar Baru satu jam kemudian. Bisa saja kami sampai dalam waktu lima belas menit, jika Intan tidak meminta memasuki beberapa toko untuk melihat-lihat.
“Gimana menurutmu?” tanya Intan seraya mencoba selembar kain kerudung yang warnanya kuning yang menurutku jelek dan norak. Aku yakin dia pasti bercanda.
“Boleh juga,” tanggapku, “tapi apa kamu yakin nanti nggak ada yang komentar di Facebook kamu, ‘Wah, Intan, tadi aku lihat suami kamu bawa-bawa sekarung jagung ke pengajian!’”
Intan tertawa dan mencoba mencubitku. “Bisa saja kamu!”
Aku berkelit dan ikut tertawa, meski terus terang, batinku merefleksi ayat terakhir Al Imran, “Bersabarlah, dan bersabarlah, dan kuatkanlah, dan bertakwalah, semoga engkau beruntung!”
Dua jam kami baru bisa keluar dari gedung Pasar Baru, untuk satu kerudung yang Intan inginkan. Hanya satu! Bersabarlah, Jim, bersabarlah!
Tanganku mulai pegal ketika aku menahan kursi roda Intan saat kami menuruni anak tangga terakhir gedung Pasar Baru. Terus terang, cukup lega juga bisa kembali ke pinggir jalan. Lalu tiba-tiba aku dengar suara ringtone ponsel Intan dari dalam tasnya. Intan ambil ponselnya, tapi tidak segera diangkat. Wajahnya mendadak terlihat ragu saat melihat layar. Aku bisa segera berasumsi kalau yang menelpon adalah ayah mertuaku; mungkin mempertanyakan ketidakhadiran kami di pengajiannya.
Belum sempat Intan bangun dari keraguannya, tiba-tiba sesuatu mengejutkan kami. Seseorang menyambar tasnya Intan! Seorang laki-laki kurus berjaket jeans!
“Hey!Jambret!” pekik aku seraya mulai berlari mengejar meski hanya beberapa langkah karena mendadak keraguan menghadangku. Jika aku mengejarnya, maka aku meninggalkan Intan sendirian di tengah keramaian! Aku sempat melirik Intan dan memang aku melihat takut dan aprehensif dari air mukanya, tapi dari sorot mata dan kata “Kejar!” yang keluar dari bibirnya, segera memberiku mandat untuk mendapatkan kembali tasnya itu! Aku kembali mengejar meski  batinku masih ragu. Apa Intan akan baik-baik saja aku tinggalkan sendiri?
Sempat aku kehilangan penjambret itu, tapi kemudian aku melihatnya menyeberang jalan dan memasuki jalan kecil berlabel jalan Pecinan Lama. Dengan cepat aku ikut menyeberang dan mengikutinya. Mungkin kamu berpikir akan ada baiknya kalau aku berteriak, “Jambret! Jambret!”, tapi percayalah itu tidak akan efektif; teriakanku hanya akan menarik perhatian saja, selebihnya hanya mempercepat lari bajingan itu dan memperlambat nafasku untuk berlari mengejar. Dan memang aku lihat bajingan itu memperlambat larinya seolah mulai merasa aman. Dan, aku bisa saja menyergapnya seandainya dia tidak menoleh. Melihatku sebagai ancaman, dia pun berlari lagi!
Aku sempat menarik jaket bajingan itu! Tapi dia mendadak berbalik, yang seketika bisa aku baca akan adanya ancaman. Sekelebat aku melihat tangannya menggenggam benda tajam yang akan merobek perutku jika aku tidak segera melompat mundur. Aku memang melompat mundur, tapi sialnya di belakangku ada sepeda motor terparkir dan membuatku terjungkal. Bajingan itu  tidak meneruskan serangannya, tapi memutuskan kabur. Aku bangkit dan kembali berlari mengejar!
Dia berbelok ke kanan! Memasuki seruas gang sempit! Dalam prosesnya dia sempat menarik tumpukan krat minuman botol milik sebuah kios untuk menghadang jalanku. Sumpah serapah bersahutan dari orang sekitar kios, sementara aku terus berlari dan melompat setinggi yang aku bisa untuk melewati rintangan itu! Aku sempat berguling saat mendarat akibat momentum lompatanku.
“Bajingan!” seru aku yang tidak membangun hal positif selain melepas amarahku. Aku bangkit dan terus mengejar! Ya Allah,, apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Gang berakhir di seruas jalan yang aku kenali bernama jalan ABC; pusat barang-barang elektronik yang memang selalu ramai. Aku kehilangan bajingan itu di sana. Di mulut gang itu aku berhenti berlari dan merunduk seraya memegang kedua lututku. Oh ya Allah, apa yang sebenarnya sedang terjadi? Lalu aku rasakan ponsel di saku celanaku bergetar; dari Intan.
“Oh, apa lagi sekarang!” keluhku seraya mengangkat ponsel itu.
Belum sempat aku mengucapkan salam atau semacamnya, Intan langsung berkata, “Jim, pasang ear-phone ponsel kamu!”
“Apa?!” Aku heran.
“Cepat pasang ear-phone ponsel kamu! Kamu di mana?”
“Jalan ABC,” jawabku seraya menarik kabel ear-phone ponselku dari saku.
“Ambil arah timur sampai ke perempatan Banceuy! Cepat!”
Aku pasang ear-phone. “Ada apa, Intan? Kamu di mana?”
“Cepat lari, Jim! Lakukan apa yang aku katakan!”
Aku berlari sampai jalan ini berakhir di perempatan.
“Oke aku lihat kamu. Seberangi jalan, terus berlari ke timur sampai jalan Cikapundung, belok kanan!”
Aku makin heran. “Kamu lihat aku? Kamu di mana?”
“Cepat, Jim! Nggak ada waktu lagi! Bilang kalau kamu sampai di Cikapundung! Aku harap bisa kurang dari semenit!”
Aku turuti perintah Intan. Aku seberangi jalan Banceuy, berlari secepat yang aku bisa ke arah timur hingga mencapai jalan Cikapundung Barat lalu aku ambil arah kanan. “Aku sampai,” kataku meski kesulitan karena nafasku terpenggal-penggal.
“Di depan gedung Balai Sumur Bandung ada jembatan penyeberangan. Kamu naik! Cepat, ya!”
Aku terus berlari meski kakiku mulai merasa lelah.
“Yes!” aku dengar Intan memekik. “Sekarang kamu jalan, terus naiki jembatan penyeberangan!”
Bak kerbau dicocok hidung, aku turuti perintah Intan meski tidak tahu permainan apa yang Intan mainkan. Aku naiki jembatan penyeberangan tapi tak lebih dari sepuluh anak tangga aku dengar perintah baru Intan.
“Sekarang berhenti! Terus merunduk! Pura-pura mengikatkan tali sepatu!”
“Aku pakai sandal, Intan!”
“Lakukan, Jim!”
Aku menurut.
“Sekarang, kamu melirik ke kanan.”
Aku melirik ke kanan.
“Kamu bisa lihat? Laki-laki jaket blue jeans yang bawa tasku?”
Aku terpekur seketika! Aku melihatnya! Bajingan itu berjalan santai dari arah barat mendekatiku, menyusuri trotoar jalan Asia-Afrika sambil menenteng tas istriku, seolah merasa aman. Seketika juga aku bisa menghargai kecerdikan Intan dengan menyuruhku menaiki jembatan penyeberangan, karena kalau tidak, aku dan bajingan itu akan berpapasan dan dia akan segera menyadari kehadiranku.
Aku masih merunduk saat bajingan itu berjalan semakin dekat. Dia semakin dekat dan akan melewati kolong jembatan penyeberangan ini jika aku tidak mencegahnya. Dari tangga jembatan aku melompat! Aku siapkan sikut kananku untuk menghantam bahu bajingan itu!
BUK!
Bajingan itu mengerang dan tersungkur. Aku secepatnya resolve dari momentum jatuhku dan segera memiting tangan bajingan itu! Dengan menggunakan lututku, aku tindih punggung bajingan itu, menahannya tetap di tanah! Lalu aku cari orang terdekat dan berteriak, “Di depan kantor pos ada polisi! Cepat panggilkan!”
Orang itu sempat kaget tapi segera menuruti perintahku.
“Yes!” kudengar pekikan Intan di ear-phone. “Kamu hebat, kamu tahu itu?”
“Kamu di mana?” tanyaku.
“Kamu ingat anak laki-laki yang bawa teropong tadi pagi?”
Keningku mengerenyit heran, tapi itu sedikit-banyak memberi tahu aku ke mana mesti melihat. Aku menengadah, melihat puncak menara utara Mesjid Raya Bandung.
“Yah, bukan anak laki-laki tadi, sih, tapi ada seorang pengunjung yang bawa teropong. Aku meminjamnya. Kamu bisa lihat aku?”
Aku melihat lambaian di puncak menara itu.
Aku terdiam! Terpana! Tak bisa berkata apa-apa! Batinku sempat bertanya, “Bagaimana dia bisa sampai di atas sana?” Tapi aku tahu kalau aku tidak akan pernah tahu sampai Intan menceritakannya kepadaku. Tapi faktanya sekarang dia di atas sana! Dan, secara strategis menuntunku menangkap bajingan ini! Lebih dari itu, intelegensia dan imajinasiku berkolaborasi menyibak tirai ignoran dan mempersembahkan kesimpulan sederhana, “Allah sedang mengabulkan doamu, Jim!”
Seolah…, seolah pada momen ini, Allah menepuk pundakku dan berkata, “Kamu telah mengambil keputusan yang tepat, Jim. Sebagaimana dirimu, istrimu adalah hambaKu juga! Kamu harus sedikit lebih percaya padanya. Dia tidak sepenuhnya tidak berdaya. Kau akan banyak melihat hal-hal yang mengejutkan dari mereka yang Aku beri keterbatasan! Dia teman satu tim yang hebat, bukan? Dialah partner seumur hidupmu! Dialah belahan jiwamu!”
Oh, segala puji bagiMu, ya Allah….
Selesai

0 Response to "Belahan Jiwa"

:) :( ;) :D ;;-) :-/ :x :P :-* =(( :-O X( :7 B-) :-S #:-S 7:) :(( :)) :| /:) =)) O:-) :-B =; :-c :)] ~X( :-h :-t 8-7 I-) 8-| L-) :-a :-$ [-( :O) 8-} 2:-P (:| =P~ #-o =D7 :-SS @-) :^o :-w 7:P 2):) X_X :!! \m/ :-q :-bd ^#(^ :ar!

Post a Comment