Latest Updates

Kisah Kasih Tak Sampai yang Membawa Sang Pecinta ke Surga

Kisah Kasih Tak Sampai yang Membawa Sang Pecinta ke Surga
Sobat Nida, hari ini kita begitu akrab dengan kisah kasih tak sampai yang berujung tragedi. Misalnya saja kisah Romeo dan Juliet yang keduanya mati bunuh diri atau cerita Qais dan Layla (Layla Majnun) yang akhir ceritanya pun tak lebih baik dari kisah pertama. Dan beragam novel serta film yang mengambil pola serupa. Kisah cinta yang tak direstui lalu memilih kematian menjadi penutupnya.

Ah, bukanlah cinta sejati jika perasaan membuncah dalam hati malah membuat kita mengakhiri hidup ini. Tidaklah cinta sejati jika kisah kasih kita malah melupakan Zat yang paling berhak dicintai.
Kita kudu hati-hati, Sob, seseorang yang cintanya malah membuatnya jatuh dalam kehinaan dia bahkan akan lupa pada hari kiamat, lupa pada Rabbnya dan AzabNya.
Mari kita belajar pada kisah kasih tak sampai dari pemuda tampan dan gadis jelita di kota Kufah. Ketika cinta yang membara itu tak membuat mereka lupa pada Rabbnya. Ketika kasih sayang keduanya yang tak bertemu di dunia itu, boleh jadi berkumpul di surgaNya, karena ketakutan mereka pada Sang Khalik dan ketaatan mereka untuk menjaga kesucian diri.
Al-Mubarid menuturkan dari Abu Kamil, dari Ishaq bin Ibrahim, dari Raja' bin Amru An-Nakha'y, dia berkata, "Di kota Kufah ada seorang pemuda yang tampan sekali wajahnya, rajin beribadah dan berijtihad. Suatu hari dia singgah di suatu kaum dari An-Nakha'. Di sana pandangannya berpapasan dengan seorang gadis yang cantik jelita dari kaum itu, sehingga dia langsung jatuh cinta kepadanya dan dia berpikir untuk memilikinya. Dia pun singgah di tempat yang lebih dekat dengan rumah gadis itu, lalu mengirim utusan untuk menyampaikan lamaran kepada bapak sang gadis. Namun dia dikabari bapaknya, bahwa gadis itu sudah dilamar anak pamannya sendiri. Tatkala keduanya semakin didera derita cinta, maka sang gadis mengirim utusan kepada pemuda untuk mengatakan, "Saya sudah mendengar tentang besarnya cintamu kepadaku. Aku pun sedih karenanya. Jika engkau mau, maka aku bisa menemuimu, atau jika engkau mau, maka saya bisa mengatur agar engkau bisa masuk ke dalam rumahku."
Sang pemuda berkata kepada utusan itu, "Dan tidakkah ada pilihan di antara dua hal yang dicintai ini, "Sesungguhnya aku takut adzab hari yang besar (Hari Kiamat), jika aku mendurhakai Rabbku?' Sesungguhnya aku takut api neraka yang baranya tidak pernah padam dan tidak surut jilatannya."
Tatkala utusan menyampaikan perkataan pemuda, maka sang gadis bertanya-tanya, "Apakah dalam keadaan seperti ini dia masih merasa takut kepada Allah? Demi Allah, tak seorangpun yang lebih berhak atas demikian itu kecuali satu orang saja, sekalipun manusia bisa bersekutu dalam masalah ini." Setelah itu gadis tersebut memisahkan diri dari segala urusan dunia, tidak mau peduli terhadap urusan harta, suami dan anak. Semua ditinggalkan dan hanya beribadah semata. Tapi sekalipun begitu dia tidak mampu memadamkan cinta kerinduannya kepada pemuda tersebut, hingga dia meninggal dunia dalam keadaan seperti itu. Sang pemuda menziarahi kuburannya, menangis di sana dan berdoa baginya. Suatu hari dia tak kuasa menahan kantuk tatkala sedang berada di atas kuburnya, sehingga dia tertidur pulas. Lalu dia bermimpi melihat gadis yang dicintainya dalam rupa yang sangat menawan. Dia bertanya, "Bagaimana keadaanmu? Apa yang kau temukan setelah berpisah denganku?"
Gadis itu menjawab, "Cinta yang manis wahai orang yang kubutuhkan. Cintamu adalah cinta yang menuntun kepada kebaikan dan kesantunan."
"Sampai kapan engkau dalam keadaan seperti itu?" tanya sang pemuda.
"Hingga mencapai kenikmatan dan kehidupan yang tiada sirna di taman surga yang abadi, suatu kekayaan yang tiada lenyap."
Sang pemuda berkata, "Sebutlah namaku di sana, karena aku tak dapat melupakan dirimu."
"Demi Allah, aku pun begitu pula, tidak dapat melupakanmu. Aku telah memohon kepada Pelindungku dan Pelindungmu agar menyatukan kita berdua. Maka tolonglah aku untuk menggapai tujuan ini dengan sekuat tenaga."
"Kapan aku bisa melihatmu lagi?" tanya sang pemuda.
"Tak lama engkau akan bertemu aku dan melihatku," jawab sang gadis.
Setelah bermimpi seperti itu, pemuda tersebut hanya hidup selama tujuh hari.
Sumber: Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah
Foto ilustrasi: google

Pemilik Sebuah Suara

Pemilik Sebuah Suara
Penulis: Miss Enje
Selalu begitu. Perasaan cinta datang tanpa pernah ada yang mengundang. Dia mampir tanpa pernah kita sangka maupun fikir. Dia suci, tapi kadang menjadi tak tersucikan oleh sebab waktu ataupun tempat. Ah, tidak, lagi-lagi selalu ada yang dikambing-hitamkan atas ketidaksucian cinta. Memang dasar hati ini saja yang terlalu mudah larut oleh bisikan-bisikan si pembangkang Tuhan.
Sebagai seorang muslimah yang masih single, aku mengaktualisasikan diri dengan banyak menghabiskan waktu di kantor ketimbang di rumah. Weekend, terlalu sia-sia untuk kuhabiskan dengan berdiam diri, tidur, nonton drama berseri-seri seorang diri di rumah. Lagian, makin lama di rumah, makin panas cuping ini mendengar pertanyaan yang selalu berulang bagi muslimah seperempat abad. Lagi-lagi, hang out dengan teman kantor menjadi pilihan. Jadi, bisa kalian bayangkan berapa puluh jam kuhabiskan dengan mereka? (12x5)+(8x2)=76 jam!
Ini bukan masalah, seandainya teman kantorku semuanya adalah berjenis kelamin sama denganku. Masalahnya, seperti lazimnya kantor-kantor di ibukota, tiap divisi sudah pasti terdiri dari kaum Adam dan Hawa. Walaupun di awal-awal masuk kantor aku berusaha menjaga pergaulan dengan lawan jenis, ya mau gimana lagi, bisikan-bisikan yang melenakan itu makin menguat tanpa kusertai dengan keimanan yang meningkat—sudah jelas bukan salah waktu dan tempat, kan?
Namanya Andi. Dia lima tahun lebih tua dariku. Posisi dan prestasinya di kantor sebetulnya biasa-biasa saja. Hanya saja menurutku dia memiliki suara paling indah tiap mengumandangkan adzan. Jujur, suaranya mampu menggerakkanku untuk bergegas sholat bahkan 15 menit sebelum waktu istirahat!
Hingga satu ketika di masjid kantor yang terletak di kawasan Thamrin, kusadari ada yang berbeda dari adzan Zuhur kali itu. Bukan suara yang biasa kutunggu-tunggu kumandangnya. Bukan suara bariton namun tak monoton. Bukan suara dengan cangkokannya yang khas. Sungguh, itulah sholat Zuhur terburukku sepanjang hayat sebab dipenuhi tanda tanya akan sebuah suara milik Andi. Aku mencari-carinya. Bahkan, aku merindukannya dengan sangat ketika sampai hari ketiga masih jua tak terdengar si empunya suara.
Hei! Gelisah amat, Neng? Nungguin si tukang adzan, ya?” Tina, rekan satu ruanganku menghancurkan imaji yang kubangun atas segala macam kemungkinan ke mana pemilik suara indah itu?
Eh… diajak ngomong malah bengong! Kesurupan, lho! Orangnya lagi cuti, kudengar anaknya masuk rumah sakit. Maklum… duda! Yuk, ah, makan. Laper, nih!” Oke, nice info. Tapi… damn! Semua yang ada di otakku terasa diburai ke permukaan oleh seorang Tina. Sepolos itukah tampangku hingga ia mampu membaca semua-muanya?
Kuturuti ajakannya. Bukan, tentu saja bukan karena lapar. Mungkin tepatnya karena aku butuh info semua tentang Andi. Begitu seterusnya, insting orang yang sedang kasmaran terus bekerja dalam diriku. Dia duda beranak dua. Istrinya menghilang pergi entah ke mana. Dia yang mengurusi kedua anaknya secara penuh setelah kepergian sang istri. Ah, semakin kutahu kehidupannya, sosoknya makin bersinar saja di tiap sudut pandangku.
***
Ya, kuakui aku sangat amatir dalam hal percintaan. Pertama kali aku jatuh cinta kalau tak salah tingkat dua SMA. Itupun aku hanya mampu mengagumi, seorang senior yang telah mencuri prestasi, hati dan kehidupanku. Setelah dia lulus, kututup semua cerita tentangnya yang bahkan mungkin tak pernah mengetahui keberadaanku sebagai junior. Dengan susah payah kufokuskan seluruh waktuku untuk memperbaiki hampir semua nilai yang sempat terjun bebas demi mengetahui seluruh kehidupan sang pujaan hati.
Di kali kedua ini, aku masih menganggap pengalaman cinta yang sama akan terulang lagi: bertepuk sebelah tangan, andai saja—lagi-lagi—Tina tak memberitahu kalimat besar yang seharian mampu membuatku tak terjaga tanpa kafein maupun minuman berenergi. “Dia ingin bertandang ke rumahmu akhir pekan ini,” ujar Tina serius.

Kaget bukan main, pasti. Bisa-bisanya  Tina membercandai inti paling inti apa yang belakangan mengusik hati ini. Awalnya aku mengabaikan ucapannya, tapi dia selalu serius, bahkan makin mendekati hari H ucapannya disertai dengan apa yang tidak pernah kusangka-sangka.
Kamu pikir, dia nggak sadar akan tingkah anehmu bergegas ke masjid sebelum waktunya?  Bahkan kamu mengintip-ngintip di sela-sela tirai saat dia adzan pun, dia tau!”
Dusta!
Kamu pikir, dia nggak pernah ngerasa akan tingkah anehmu kala kalian berpapasan? Kamu memutar arah saat kalian hendak berpapasan pun, dia tau!”
Pembual!
Kamu pikir, aku nggak pernah memergokimu curi-curi pandang saat dia presentasi? Aku tauuu semuanya, Neng Sarah. Makanya aku rancang ini semua untuk kamu. Tenang, aku nggak membongkar perasaanmu walau satu centi ke Andi. Katanya sih, dia memang sudah ada rasa sama kamu sejak pertama kali kamu masuk kantor kita. Sooo… disiapin ya, Neng!”
What??? Jadi…?
Sungguh aku kehilangan cara bagaimana berkata-kata. Selain tak sanggup tidur, tiga hari setelahnya aku tak kuasa untuk masuk kantor. Mau ditaruh di mana mukaku nanti, baik di hadapan Andi maupun Tina? Aku benar-benar malu, bahkan untuk sekadar membalas sms tanya kabar dari Tina dan manajer SDM.
***
Benar saja. Di waktu yang digadang-gadang oleh Tina hingga pagi tadi via sms, dia datang dengan ditemani seorang laki-laki yang tak kukenal! Satu sisi hatiku menyuruhku untuk tidak keluar menemuinya. Tapi sisi yang lain terlampau bergembira dengan kehadirannya. Kumantapkan untuk turun dengan ditemani Mama. Santun. Santun sekali cara dia membuka pembicaraan kami. Begitu juga dengan Mama, orang tua mana yang tidak bahagia ketika akhirnya anak perempuan yang hanya semata wayang disambangi oleh seorang lelaki, to the point ingin melamarnya?
Bukan kepalang senangnya mama. Tak lupa lebayan khas ibu-ibu, dipuja-puji diriku, betapa bangga dia memiliki anak sepertiku. Prestasiku, tingkah lakuku, semua diumbar oleh Mama. Hingga gantian Andi membeberkan segala hal tentangnya. Tepat di bagian status Andi yang duda beranak dua, seketika itu pula warna muka Mama berubah. Jangankan mengoceh, menatap Andi pun mama tak sudi. Entah apa yang ada di benaknya, yang kuingat pertemuan kami ditutup dengan sangat tidak enak. Malah Mama sengaja tak mau menemui Adit saat dia undur diri untuk pulang.
Betul saja. Malamnya, Mama membahas pertemuan siang tadi di hadapan papa. Ia bersikukuh tak akan pernah menyetujui hubunganku dengan Andi karena status duda yang disandangnya. Katanya aku masih bisa mendapatkan yang lebih baik dari Andi, yang masih perjaka tentu. Katanya lagi, nanti kehidupan rumah tanggaku dan Andi akan mengalami kesulitan karena harus berbagi kehidupan dengan dua anaknya. Katanya juga, dia yang akan mencarikan jodoh untukku kalau memang aku tak sanggup mencari pengganti setelah Andi. Allahumma…
***
Satu bulan berselang, dua kali sudah Andi bertandang kembali ke rumahku. Bukan hanya menemui Mama, tapi juga Papa. Ah, tapi Papa bisa apa? Mama terlalu dominan sejak dulu. Kemauannya tidak ada yang bisa mengingkari. Apa yang dia mau harus menjadi kenyataan.
Di kedatangan Andi yang terakhir, sengaja aku hanya berdiam diri di kamar. Walau tak di sana, tapi aku mampu mendengar semua-muanya. Dia pulang masih dengan sikap yang ditunjukkan saat pertama kali datang. Santun meski disambut dengan penolakan oleh Mama Papa. Salam terakhirnya, suara motornya, terekam jelas seiring air mata yang meruah.
Sebagai anak yang selalu mencoba berbakti kepada orangtua, aku bisa apa? Berat hati kuterima takdir ini. Keputusanku sudah bulat. Tak akan kuinjakkan lagi kakiku di kantor itu. Biarlah, biarlah waktu dan tempat yang akan menghapuskan semua bata harapan yang hampir terbangun sempurna bagi seorang wanita: pelaminan.
Selesai.

Inilah Perbedaan Cinta dan Nafsu

Inilah Perbedaan Cinta dan Nafsu
Sobat , suka bingung gak sih bagaimana cara membedakan cinta dan nafsu? Terkadang apa yang kita rasakan di dalam hati, kita anggap hal itu adalah cinta, padahal ternyata itu adalah nafsu yang selalu diselipkan oleh setan melalui bisikan bisikannya yang dapat menembus telinga hingga merasuk sampai ke hati.
Kualitas keimanan dan kedekatan kita kepada Allah lah yang mampu membentengi diri dari gelayut nafsu. Sebagai manusia yang kondisi iman dan ibadahnya sedang melemah lebih rentan untuk terjatuh dalam jurang nafsu. Seseorang yang bergelayut dengan nafsu seolah buta. Dia tak bisa lagi membedakan mana cinta dan mana nafsu karena seseorang yang sudah terlanjur tenggelam dalam jurang nafsu tidak akan mempan dinasehati ribuan malaikat sekalipun. Dan ini sangat berbahaya. Nah, sobat Nida. Berikut akan diulas perbedaan cinta dan nafsu:
1. Nafsu  adalah ketika kamu hanya melihat dari tampilan luarnya. Hal ini biasanya terjadi dan menjadi cinta pada pandangan pertama. Sedangkann cinta adalah ketika kamu  mencintainya karena dirinya, dirinya secara keseluruhan, baik dari kelebihan atau kekurangannya.
2. Nafsu adalah ketika kamu hanya memikirkan kebahagiaan yang nanti akan dijalani bersama dengan dirinya. Sedangkan cinta menganggap kebahagiaan memang menjadi tujuan, Tapi kamu juga siap dengan penderitaan yang akan dialami dengan dirinya.
3. Nafsu adalah aaat memikirkan dirinya, kamu lebih terfokus pada wajah dan bagian tubuh lainnya. Sedangkan cinta adalah ketika kamu akan memikirkan kebahagiaan, kenangan indah, juga harapan bersama dalam membina rumah tangga dengan dia nantinya.
4. Nafsu hanya membuatmu lebih suka memilih tempat kencan yang sepi dan tidak begitu ramai oleh orang lain. Sedangkan cinta akan membuatmu memilih tempat yang romantis namun masih ada orang disekitarmu, seolah menunjukan "Inilah kekasihku yang paling aku cintai".
5. Nafsu: Tidak ada rencana masa depan. Meskipun ada, itu hanya sebagai alasan untuk tetap bersama dengan dirinya. Cinta : Pemikiran masa depan pasti ada. Bagaimana nanti menjalani kehidupan bersama yang lebih baik. Bukan hanya kebersamaan sesaat yang dipikirkan.
6. Nafsu: Cinta selalu sebagai senjata saat tuntutan tidak terpenuhi. Cinta : Banyak hal yang bisa dilakukan untuk mendapatkan cinta
7. Nafsu: Kamu ingin menghabiskan waktu hanya bersama dengan dirinya, tidak ada orang lain yang terlibat. Cinta: kamu ingin menghabiskan waktu yang sangat berkualitas dengan dirinya. Ada keluarga juga saudara yang menunjukan bahwa ada kebahagiaan disana.
8. Nafsu: Mudah menyerah oleh keadaan. Tidak bisa dengan baik menerima cobaan yang ada. Cinta : Tahan banting dan bisa dengan mudah melalui rintangan yang ada. meskipun kadang tidak memberikan hasil yang diinginkan, setidaknya ada jalan yang baik, itulah cinta.
9. Nafsu : Tidak mudah memaafkan kesalahan masa lalu. Dan sering menganggap itu sebagai masalah. Cinta : Masa lalu biarlah masa lalu. Yang terpenting, saat ini bisa membawa perubahan yang baik.
10. Nafsu : Memanfaat kelebihan yang ada pada pasangan untuk kesenangan. Cinta : Hanya menghargai dan membanggakan kelebihan yang ada pada diri pasangan. kalaupun bisa memberikan manfaat, itu ada diurutan sekian.
11. Nafsu : Memberikan apapun untuk mendapat imbalan yang setimpal. Cinta : Memberi dengan iklhas tanpa meminta imbalan yang pantas.
12. Nafsu : Ada ketertarikan dengan orang yang lebih menarik. Tapi bukan kagum. Cinta : Jika ada Orang yang lebih menarik, hanya kagum dan tidak ada pikiran selain itu.
Semoga Bermanfaat yaa Sob.
Foto ilustrasi: google

Aku Ingin Menikah dengan Sederhana

Aku Ingin Menikah dengan Sederhana
Tak ada puisi hari ini. Sekalipun judul tulisan mengingatkanmu pada karya Sapardi Djoko Damono, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana”.
Bukankah tanda sejati mencinta itu dengan menikah? Ah, bukan beda antara cinta dan pernikahan pula yang hendak dibahas.
Lalu mengapa judulnya harus “menikah” bukan “menikahimu”? Karena kita tidak pernah tahu, apakah dirimu yang kan menghabiskan waktu bersamaku atau orang lain.
Aku ingin mengajakmu, Kawan. Menjelajah ke masa 14 abad yang silam. Di mana hidup seorang pemuda mulia namun sederhana dalam harta. Pun seperti kita hari ini, sang pemuda ini juga ingin menikah. Melamar gadis pujaan hatinya. Kabar buruknya, dia bukan lelaki pertama yang melamar sang gadis pujaan hati. Seorang lelaki, sahabat paling dekat dari ayah sang gadis sudah duluan melamar. Sulit rasanya membayangkan lelaki yang terkenal amat dermawan ini ditolak oleh ayah sang gadis. Ayah sang gadis pun memberi jawaban bahwa anak gadisnya ini masih kecil. Menolak secara halus.
Lalu sahabat dekat ayah sang gadis lainnya melamar. Seorang laki-laki yang amat disegani karena keadilannya. Bahkan setan pun tidak berani mengambil jalan yang dilalui oleh laki-laki ini. Tidak heran rasanya jika ayah sang gadis menerima lamarannya. Ternyata jawaban ayah sang gadis sama dengan pinangan lelaki yang pertama. Mengatakan tidak dengan lembut.
Akhirnya sang pemuda pun melamar gadis pujaan hati. Kabar baiknya, ayah sang gadis pun menerima lamaran sang pemuda lalu menikahkan mereka.
Romantis bukan? Tidak sulit menebak cerita di atas ialah kisah pernikahan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Kawan, bukan romantisme kisah tersebut yang ingin aku ceritakan padamu. Melainkan justru kisah setelah lamaran Ali diterima.
Aku kutip hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan an-Nasai, yang telah dishahihkan oleh al-Hakim.
Dari Ibnu Abbas bahwasanya ketika Ali radhiyallahu ‘anhu menikahi Fatimah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Berikanlah ia (mahar) sesuatu”. Ali menjawab, “Aku tidak memiliki apa pun” lalu Rasulullah bersabda, “Berikanlah baju besimu.”
Kawan, apa yang membuatmu berani melamar seorang gadis?
Ah, pertanyaan ini terlalu sulit dan luas jawabannya. Mari kita ganti pertanyaan agar lebih sederhana untuk menjawabnya.
Kawan, jika kau tidak memiliki apapun, apakah kau berani melamar seorang gadis seperti keberanian Ali melamar Fatimah?
Cukup simpan jawabmu dalam hati.
Andai aku berkesempatan untuk bertemu Rasulullah dalam mimpi saat ini. Ingin sekali kukatakan padanya bahwa aku tidak memiliki apapun seperti Ali. Jika Ali memiliki baju perang, apa yang aku miliki hanyalah “laptop perang”. Laptop yang kugunakan untuk berdakwah lewat kata-kata. Hanya kesamaanku dengan Ali ialah pada “aku tidak memiliki apapun” saja.  Sedangkan pemahaman pada agama ini, kecintaan padamu ya Rasulullah, kedewasaan, dan hal-hal lainnya aku dan Ali bagaikan langit dan bumi.
Kawan, entah apakah kau merasakan apa yang aku rasakan. Memikirkan pernikahan sungguh menyesakkan dada ini. Terbayang biaya puluhan juta bahkan ratusan juta untuk menyelamatkan reputasi keluarga menggelar resepsi, untuk menjadikan sang gadis pujaan hati sebagai ratu sehari, belum lagi mau ke mana kau kan berbulan madu, dan hal-hal tentang materi yang membuat gelap hati.
“Kapan nikahnya kalau mikirin dunia terus?” celoteh seorang Ustadz ketika menceritakan pengalamannya nikah bermodal gaji guru TPA tak seberapa dulu.
Sempat iblis membisikkan hati. Mendingan zina aja deh daripada nikah mahal kayak gini. Pacaran lebih murah dan bisa lepas tanggungjawab gitu aja daripada nikah kan? Kenapa nggak mending pacaran aja?
Jawabnya masih ada iman di hati ini. Biar maksiat tiap hari nggak pernah berhenti, masih ada rasa takut di hati ini. Takut pada Allah. Takut pada azab-Nya, neraka-Nya. Masih ada rasa malu. Kalau rasa malu itu hilang, mau haram pun pasti diterjang.
Lalu adakah puisi Pak Sapardi menginspirasi untuk menikah dengan sederhana? Mengganti diksi mencintaimu dengan menikah?
Tidak. Puisi itu hanyalah inspirasi untuk “judul tulisan” saja, bukan tulisannya.
Aku ingin menikah dengan sederhana.
Jangan-jangan ingin menikah dengan sederhana karena nggak punya uang kan?
Itu betul. Tapi aku menolak untuk takut menikah gara-gara aku tidak memiliki apapun. Aku ingin seperti Ali yang berani melamar Fatimah sekalipun hanya punya baju besi.
Aku ingin menikah dengan sederhana. Sekalipun kelak ketika menikah aku lebih mampu untuk menggelar resepsi yang menyelamatkan martabat keluarga, dengan gedung dan tenda.
Aku ingin menikah dengan sederhana. Karena aku sadar menikah dengan sederhana adalah pilihan. Sekalipun kau punya dunia dengan segalanya, Kawan, kau bisa memutuskan menikah dengan sederhana. Dan sebaliknya, seseorang yang tidak punya dunia pun ternyata bisa menikah dengan “tidak sederhana”. Kulihat satu keluarga menikahkan anaknya dengan utang puluhan juta yang tak tahu apakah sebelum mati mereka kan sempat melunasinya.
Aku ingin menikah dengan sederhana. Tak masalah apabila walimah pernikahan kelak seperti pernikahan Rasulullah dengan Shafiyyah binti Huyay, hanya bertemankan minuman dari air hujan serta makanan dari gandum dan kurma.
Aku ingin menikah dengan sederhana. Akan kugenggam erat idealismeku pada akhirat dan memeluk kenaifanku pada dunia.
Aku ingin menikah dengan sederhana.
Penulis: Agung D. Iswanto
Foto ilustrasi: google