Latest Updates

Aku Ingin Menikah dengan Sederhana

Tak ada puisi hari ini. Sekalipun judul tulisan mengingatkanmu pada karya Sapardi Djoko Damono, “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana”.
Bukankah tanda sejati mencinta itu dengan menikah? Ah, bukan beda antara cinta dan pernikahan pula yang hendak dibahas.
Lalu mengapa judulnya harus “menikah” bukan “menikahimu”? Karena kita tidak pernah tahu, apakah dirimu yang kan menghabiskan waktu bersamaku atau orang lain.
Aku ingin mengajakmu, Kawan. Menjelajah ke masa 14 abad yang silam. Di mana hidup seorang pemuda mulia namun sederhana dalam harta. Pun seperti kita hari ini, sang pemuda ini juga ingin menikah. Melamar gadis pujaan hatinya. Kabar buruknya, dia bukan lelaki pertama yang melamar sang gadis pujaan hati. Seorang lelaki, sahabat paling dekat dari ayah sang gadis sudah duluan melamar. Sulit rasanya membayangkan lelaki yang terkenal amat dermawan ini ditolak oleh ayah sang gadis. Ayah sang gadis pun memberi jawaban bahwa anak gadisnya ini masih kecil. Menolak secara halus.
Lalu sahabat dekat ayah sang gadis lainnya melamar. Seorang laki-laki yang amat disegani karena keadilannya. Bahkan setan pun tidak berani mengambil jalan yang dilalui oleh laki-laki ini. Tidak heran rasanya jika ayah sang gadis menerima lamarannya. Ternyata jawaban ayah sang gadis sama dengan pinangan lelaki yang pertama. Mengatakan tidak dengan lembut.
Akhirnya sang pemuda pun melamar gadis pujaan hati. Kabar baiknya, ayah sang gadis pun menerima lamaran sang pemuda lalu menikahkan mereka.
Romantis bukan? Tidak sulit menebak cerita di atas ialah kisah pernikahan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah. Kawan, bukan romantisme kisah tersebut yang ingin aku ceritakan padamu. Melainkan justru kisah setelah lamaran Ali diterima.
Aku kutip hadits yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan an-Nasai, yang telah dishahihkan oleh al-Hakim.
Dari Ibnu Abbas bahwasanya ketika Ali radhiyallahu ‘anhu menikahi Fatimah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Berikanlah ia (mahar) sesuatu”. Ali menjawab, “Aku tidak memiliki apa pun” lalu Rasulullah bersabda, “Berikanlah baju besimu.”
Kawan, apa yang membuatmu berani melamar seorang gadis?
Ah, pertanyaan ini terlalu sulit dan luas jawabannya. Mari kita ganti pertanyaan agar lebih sederhana untuk menjawabnya.
Kawan, jika kau tidak memiliki apapun, apakah kau berani melamar seorang gadis seperti keberanian Ali melamar Fatimah?
Cukup simpan jawabmu dalam hati.
Andai aku berkesempatan untuk bertemu Rasulullah dalam mimpi saat ini. Ingin sekali kukatakan padanya bahwa aku tidak memiliki apapun seperti Ali. Jika Ali memiliki baju perang, apa yang aku miliki hanyalah “laptop perang”. Laptop yang kugunakan untuk berdakwah lewat kata-kata. Hanya kesamaanku dengan Ali ialah pada “aku tidak memiliki apapun” saja.  Sedangkan pemahaman pada agama ini, kecintaan padamu ya Rasulullah, kedewasaan, dan hal-hal lainnya aku dan Ali bagaikan langit dan bumi.
Kawan, entah apakah kau merasakan apa yang aku rasakan. Memikirkan pernikahan sungguh menyesakkan dada ini. Terbayang biaya puluhan juta bahkan ratusan juta untuk menyelamatkan reputasi keluarga menggelar resepsi, untuk menjadikan sang gadis pujaan hati sebagai ratu sehari, belum lagi mau ke mana kau kan berbulan madu, dan hal-hal tentang materi yang membuat gelap hati.
“Kapan nikahnya kalau mikirin dunia terus?” celoteh seorang Ustadz ketika menceritakan pengalamannya nikah bermodal gaji guru TPA tak seberapa dulu.
Sempat iblis membisikkan hati. Mendingan zina aja deh daripada nikah mahal kayak gini. Pacaran lebih murah dan bisa lepas tanggungjawab gitu aja daripada nikah kan? Kenapa nggak mending pacaran aja?
Jawabnya masih ada iman di hati ini. Biar maksiat tiap hari nggak pernah berhenti, masih ada rasa takut di hati ini. Takut pada Allah. Takut pada azab-Nya, neraka-Nya. Masih ada rasa malu. Kalau rasa malu itu hilang, mau haram pun pasti diterjang.
Lalu adakah puisi Pak Sapardi menginspirasi untuk menikah dengan sederhana? Mengganti diksi mencintaimu dengan menikah?
Tidak. Puisi itu hanyalah inspirasi untuk “judul tulisan” saja, bukan tulisannya.
Aku ingin menikah dengan sederhana.
Jangan-jangan ingin menikah dengan sederhana karena nggak punya uang kan?
Itu betul. Tapi aku menolak untuk takut menikah gara-gara aku tidak memiliki apapun. Aku ingin seperti Ali yang berani melamar Fatimah sekalipun hanya punya baju besi.
Aku ingin menikah dengan sederhana. Sekalipun kelak ketika menikah aku lebih mampu untuk menggelar resepsi yang menyelamatkan martabat keluarga, dengan gedung dan tenda.
Aku ingin menikah dengan sederhana. Karena aku sadar menikah dengan sederhana adalah pilihan. Sekalipun kau punya dunia dengan segalanya, Kawan, kau bisa memutuskan menikah dengan sederhana. Dan sebaliknya, seseorang yang tidak punya dunia pun ternyata bisa menikah dengan “tidak sederhana”. Kulihat satu keluarga menikahkan anaknya dengan utang puluhan juta yang tak tahu apakah sebelum mati mereka kan sempat melunasinya.
Aku ingin menikah dengan sederhana. Tak masalah apabila walimah pernikahan kelak seperti pernikahan Rasulullah dengan Shafiyyah binti Huyay, hanya bertemankan minuman dari air hujan serta makanan dari gandum dan kurma.
Aku ingin menikah dengan sederhana. Akan kugenggam erat idealismeku pada akhirat dan memeluk kenaifanku pada dunia.
Aku ingin menikah dengan sederhana.
Penulis: Agung D. Iswanto
Foto ilustrasi: google

0 Response to "Aku Ingin Menikah dengan Sederhana"

:) :( ;) :D ;;-) :-/ :x :P :-* =(( :-O X( :7 B-) :-S #:-S 7:) :(( :)) :| /:) =)) O:-) :-B =; :-c :)] ~X( :-h :-t 8-7 I-) 8-| L-) :-a :-$ [-( :O) 8-} 2:-P (:| =P~ #-o =D7 :-SS @-) :^o :-w 7:P 2):) X_X :!! \m/ :-q :-bd ^#(^ :ar!

Post a Comment