Latest Updates

Pemilik Sebuah Suara

Penulis: Miss Enje
Selalu begitu. Perasaan cinta datang tanpa pernah ada yang mengundang. Dia mampir tanpa pernah kita sangka maupun fikir. Dia suci, tapi kadang menjadi tak tersucikan oleh sebab waktu ataupun tempat. Ah, tidak, lagi-lagi selalu ada yang dikambing-hitamkan atas ketidaksucian cinta. Memang dasar hati ini saja yang terlalu mudah larut oleh bisikan-bisikan si pembangkang Tuhan.
Sebagai seorang muslimah yang masih single, aku mengaktualisasikan diri dengan banyak menghabiskan waktu di kantor ketimbang di rumah. Weekend, terlalu sia-sia untuk kuhabiskan dengan berdiam diri, tidur, nonton drama berseri-seri seorang diri di rumah. Lagian, makin lama di rumah, makin panas cuping ini mendengar pertanyaan yang selalu berulang bagi muslimah seperempat abad. Lagi-lagi, hang out dengan teman kantor menjadi pilihan. Jadi, bisa kalian bayangkan berapa puluh jam kuhabiskan dengan mereka? (12x5)+(8x2)=76 jam!
Ini bukan masalah, seandainya teman kantorku semuanya adalah berjenis kelamin sama denganku. Masalahnya, seperti lazimnya kantor-kantor di ibukota, tiap divisi sudah pasti terdiri dari kaum Adam dan Hawa. Walaupun di awal-awal masuk kantor aku berusaha menjaga pergaulan dengan lawan jenis, ya mau gimana lagi, bisikan-bisikan yang melenakan itu makin menguat tanpa kusertai dengan keimanan yang meningkat—sudah jelas bukan salah waktu dan tempat, kan?
Namanya Andi. Dia lima tahun lebih tua dariku. Posisi dan prestasinya di kantor sebetulnya biasa-biasa saja. Hanya saja menurutku dia memiliki suara paling indah tiap mengumandangkan adzan. Jujur, suaranya mampu menggerakkanku untuk bergegas sholat bahkan 15 menit sebelum waktu istirahat!
Hingga satu ketika di masjid kantor yang terletak di kawasan Thamrin, kusadari ada yang berbeda dari adzan Zuhur kali itu. Bukan suara yang biasa kutunggu-tunggu kumandangnya. Bukan suara bariton namun tak monoton. Bukan suara dengan cangkokannya yang khas. Sungguh, itulah sholat Zuhur terburukku sepanjang hayat sebab dipenuhi tanda tanya akan sebuah suara milik Andi. Aku mencari-carinya. Bahkan, aku merindukannya dengan sangat ketika sampai hari ketiga masih jua tak terdengar si empunya suara.
Hei! Gelisah amat, Neng? Nungguin si tukang adzan, ya?” Tina, rekan satu ruanganku menghancurkan imaji yang kubangun atas segala macam kemungkinan ke mana pemilik suara indah itu?
Eh… diajak ngomong malah bengong! Kesurupan, lho! Orangnya lagi cuti, kudengar anaknya masuk rumah sakit. Maklum… duda! Yuk, ah, makan. Laper, nih!” Oke, nice info. Tapi… damn! Semua yang ada di otakku terasa diburai ke permukaan oleh seorang Tina. Sepolos itukah tampangku hingga ia mampu membaca semua-muanya?
Kuturuti ajakannya. Bukan, tentu saja bukan karena lapar. Mungkin tepatnya karena aku butuh info semua tentang Andi. Begitu seterusnya, insting orang yang sedang kasmaran terus bekerja dalam diriku. Dia duda beranak dua. Istrinya menghilang pergi entah ke mana. Dia yang mengurusi kedua anaknya secara penuh setelah kepergian sang istri. Ah, semakin kutahu kehidupannya, sosoknya makin bersinar saja di tiap sudut pandangku.
***
Ya, kuakui aku sangat amatir dalam hal percintaan. Pertama kali aku jatuh cinta kalau tak salah tingkat dua SMA. Itupun aku hanya mampu mengagumi, seorang senior yang telah mencuri prestasi, hati dan kehidupanku. Setelah dia lulus, kututup semua cerita tentangnya yang bahkan mungkin tak pernah mengetahui keberadaanku sebagai junior. Dengan susah payah kufokuskan seluruh waktuku untuk memperbaiki hampir semua nilai yang sempat terjun bebas demi mengetahui seluruh kehidupan sang pujaan hati.
Di kali kedua ini, aku masih menganggap pengalaman cinta yang sama akan terulang lagi: bertepuk sebelah tangan, andai saja—lagi-lagi—Tina tak memberitahu kalimat besar yang seharian mampu membuatku tak terjaga tanpa kafein maupun minuman berenergi. “Dia ingin bertandang ke rumahmu akhir pekan ini,” ujar Tina serius.

Kaget bukan main, pasti. Bisa-bisanya  Tina membercandai inti paling inti apa yang belakangan mengusik hati ini. Awalnya aku mengabaikan ucapannya, tapi dia selalu serius, bahkan makin mendekati hari H ucapannya disertai dengan apa yang tidak pernah kusangka-sangka.
Kamu pikir, dia nggak sadar akan tingkah anehmu bergegas ke masjid sebelum waktunya?  Bahkan kamu mengintip-ngintip di sela-sela tirai saat dia adzan pun, dia tau!”
Dusta!
Kamu pikir, dia nggak pernah ngerasa akan tingkah anehmu kala kalian berpapasan? Kamu memutar arah saat kalian hendak berpapasan pun, dia tau!”
Pembual!
Kamu pikir, aku nggak pernah memergokimu curi-curi pandang saat dia presentasi? Aku tauuu semuanya, Neng Sarah. Makanya aku rancang ini semua untuk kamu. Tenang, aku nggak membongkar perasaanmu walau satu centi ke Andi. Katanya sih, dia memang sudah ada rasa sama kamu sejak pertama kali kamu masuk kantor kita. Sooo… disiapin ya, Neng!”
What??? Jadi…?
Sungguh aku kehilangan cara bagaimana berkata-kata. Selain tak sanggup tidur, tiga hari setelahnya aku tak kuasa untuk masuk kantor. Mau ditaruh di mana mukaku nanti, baik di hadapan Andi maupun Tina? Aku benar-benar malu, bahkan untuk sekadar membalas sms tanya kabar dari Tina dan manajer SDM.
***
Benar saja. Di waktu yang digadang-gadang oleh Tina hingga pagi tadi via sms, dia datang dengan ditemani seorang laki-laki yang tak kukenal! Satu sisi hatiku menyuruhku untuk tidak keluar menemuinya. Tapi sisi yang lain terlampau bergembira dengan kehadirannya. Kumantapkan untuk turun dengan ditemani Mama. Santun. Santun sekali cara dia membuka pembicaraan kami. Begitu juga dengan Mama, orang tua mana yang tidak bahagia ketika akhirnya anak perempuan yang hanya semata wayang disambangi oleh seorang lelaki, to the point ingin melamarnya?
Bukan kepalang senangnya mama. Tak lupa lebayan khas ibu-ibu, dipuja-puji diriku, betapa bangga dia memiliki anak sepertiku. Prestasiku, tingkah lakuku, semua diumbar oleh Mama. Hingga gantian Andi membeberkan segala hal tentangnya. Tepat di bagian status Andi yang duda beranak dua, seketika itu pula warna muka Mama berubah. Jangankan mengoceh, menatap Andi pun mama tak sudi. Entah apa yang ada di benaknya, yang kuingat pertemuan kami ditutup dengan sangat tidak enak. Malah Mama sengaja tak mau menemui Adit saat dia undur diri untuk pulang.
Betul saja. Malamnya, Mama membahas pertemuan siang tadi di hadapan papa. Ia bersikukuh tak akan pernah menyetujui hubunganku dengan Andi karena status duda yang disandangnya. Katanya aku masih bisa mendapatkan yang lebih baik dari Andi, yang masih perjaka tentu. Katanya lagi, nanti kehidupan rumah tanggaku dan Andi akan mengalami kesulitan karena harus berbagi kehidupan dengan dua anaknya. Katanya juga, dia yang akan mencarikan jodoh untukku kalau memang aku tak sanggup mencari pengganti setelah Andi. Allahumma…
***
Satu bulan berselang, dua kali sudah Andi bertandang kembali ke rumahku. Bukan hanya menemui Mama, tapi juga Papa. Ah, tapi Papa bisa apa? Mama terlalu dominan sejak dulu. Kemauannya tidak ada yang bisa mengingkari. Apa yang dia mau harus menjadi kenyataan.
Di kedatangan Andi yang terakhir, sengaja aku hanya berdiam diri di kamar. Walau tak di sana, tapi aku mampu mendengar semua-muanya. Dia pulang masih dengan sikap yang ditunjukkan saat pertama kali datang. Santun meski disambut dengan penolakan oleh Mama Papa. Salam terakhirnya, suara motornya, terekam jelas seiring air mata yang meruah.
Sebagai anak yang selalu mencoba berbakti kepada orangtua, aku bisa apa? Berat hati kuterima takdir ini. Keputusanku sudah bulat. Tak akan kuinjakkan lagi kakiku di kantor itu. Biarlah, biarlah waktu dan tempat yang akan menghapuskan semua bata harapan yang hampir terbangun sempurna bagi seorang wanita: pelaminan.
Selesai.

0 Response to "Pemilik Sebuah Suara"

:) :( ;) :D ;;-) :-/ :x :P :-* =(( :-O X( :7 B-) :-S #:-S 7:) :(( :)) :| /:) =)) O:-) :-B =; :-c :)] ~X( :-h :-t 8-7 I-) 8-| L-) :-a :-$ [-( :O) 8-} 2:-P (:| =P~ #-o =D7 :-SS @-) :^o :-w 7:P 2):) X_X :!! \m/ :-q :-bd ^#(^ :ar!

Post a Comment